Akad Hiwalah – Pengertian dan Syarat Rukunnya
Akad Hiwalah – Pengertian dan Syarat Rukunnya – Aktivitas ekonomi dan bisnis dewasa ini semakin kompleks, terutama terkait dengan masalah modal. Bagaimanapun, modal memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalankan usaha.
Ada sebagian pelaku usaha memiliki modal, ada pula pelaku usaha yang tidak memiliki modal yang cukup, bahkan ada pelaku usaha yang memiliki modal, tetapi modal itu berada pada pihak lain yang sulit dibayar pada saat pemilik modal membutuhkan.
Variasi kepemilikan modal ini memberi dampak yang kuat bagi eksistensi usaha yang dijalankan oleh para pelaku usaha.
Pada saat ketiadaan modal atau keadaan modal yang sulit digunakan, maka para pelaku usaha biasanya berhubungan dengan bank sebagai pemilik modal.
Pada saat pelaku usaha sama sekali tidak memiliki modal, maka pelaku usaha bisa menjadi nasabah bank syariah dengan memanfaatkan pembiayaan mudharabah.
Pada saat pelaku usaha hanya memiliki sebagian modal tetapi tidak cukup untuk menjalankan usaha, maka pelaku usaha bisa menjadi nasabah bank syariah dengan memanfaatkan pembiayaan musyarakah.
Keadaan lain yang mungkin terjadi dan dialami oleh pelaku usaha adalah memiliki modal, tetapi modal tersebut berada pada pihak lain dan tidak bisa digunakan pada saat pelaku usaha itu membutuhkan.
Dalam keadaan seperti ini, maka pelaku usaha bisa berhubungan dengan bank syariah dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan bank berupa akad hiwalah.
Uraian berikut ini akan mendeskripsikan tentang implementasi akad hiwalah di lembaga keuangan syariah, khususnya di perbankan syariah.
Namun, sebelum masuk pada pembahasan pokok, maka sebelumnya akan dideskripsikan terlebih dahulu aturan fiqh tentang hiwalah dan produk hukum di Indonesia yang berkaitan dengan hiwalah ini.
Deskripsi Tentang Hiwalah
Secara bahasa, hawalah berarti al-intiqal (memindahkan) dan al-tahwil (mengalihkan). Menurut al-Juzayri,’ hiwalah secara bahasa berarti:
النقل من محل إلى محل
“Pemindahan dori suatu tempat ke tempat yang lain.”
Secara terminologi, hiwalah dimaknai secara varitif oleh para fuqaha.
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud dengan hiwalah adalah memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.
Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali, hiwalah berarti pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak yang lain.
Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa dalam hiwalah itu terdapat tiga pihak yang terlibat. Yaitu pihak pemberi utang (muhil), pihak yang berpiutang (muhal alayh) dan pihak yang bertanggung jawab dalam pembayaran utang (muhal).
Mekanisme kerja akad hiwalah ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Keabsahan hiwalah didasarkan pada Al-Quran, Hadis, dan ijma’, Al-Quran yang melegitimasi akad hiwalah adalah Surah Al-Baqarah ayat 282:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ ۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Sedangkan hadis yang mengabsahkan akad hiwalah adalah:
عن أبي هريرة رضی ال له عنه أن رسول الله صلى الله عليه
وسلم (مطل الغني ظلم فإذا أتبع أحدكم على ملي فليتبع )رواه البخاري
“Menunda (pembayaran utang) oleh orang yang telah mampu membayar itu suatu penganiayaan. Apabila salah seorang di antara kamu utangnya dilimpahkan kepada orang yang mampu, hendaklah kamu menerima.” (Riwayat Bukhari)
Dalam hadis ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang menghiwalahkan kepada orang kaya dan berkemampuan. Hendaklah menerima hiwalah tersebut dan menagihnya kepada muhal alayh.
Kebolehan hiwalah ini didasarkan pula pada ijma’ di kalangan ulama. Para ulama sepakat bahwa hukum hiwalah itu adalah boleh.
Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hiwalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
Syarat dan Rukun Hiwalah
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam akad hiwalah itu terdapat lima rukun, yaitu: muhil (orang yang memindahkan utang), muhal (orang yang mempunyai utang kepada muhil), muhal alayh (orang yang menerima hiwalah), muhal bih (piutang), serta ijab dan qabul.
Dalam akad hiwalah seorang muhil disyaratkan:
1. Memiliki kemampuan untuk melakukan akad (transaksi), berakal dan baligh;
2. Adanya kerelaan muhil.
Sedangkan muhal disyaratkan:
1. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak, berakal dan baligh;
2. Adanya kerelaan muhal, dan
3. Bersedia menerima akad hiwalah.
Muhal ‘alayh disyaratkan:
1. Memiliki kemampuan untuk melakukan akad (transaksi), berakal dan baligh;
2. Adanya kerelaan muhal ‘alayh, dan
3. Bersedia menerima akad hiwalah.
Muhal bih disyaratkan:
1. Berupa utang dan utang itu merupakan tanggungan dari muhil kepada muhal;
2. Berbentuk utang lazim, artinya bahwa utang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
Pembagian Hiwalah
Dalam konteks fiqh, hiwalah ini terdiri dari dua macam, yaitu hiwalah muqayyadah dan hiwalah muthlaqah. Hiwalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang sekaligus berpiutang kepada muhal alayh.
Sedangkan yang dimaksud dengan hiwalah muthlaqah adalah hiwalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal alayh.
Selain kedua macam akad hiwalah dikenal pula dengan akad hiwalah bi al-ujrah, yakni hiwalah dengan pengenaan ujrah atau fee.
Kebolehan akad hiwalah bi al-ujrah ini didasarkan pada hadis yang menyatakatan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
من استأجر أجيرا فليعلمه أجره) رواه البيهقي )
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” (Riwayat al-Baihaqi)
Berakhirnya Akad Hiwalah
Hal lain yang perlu dikemukakan adalah masa berakhirnya akad hiwalah.
Akad hiwalah ini akan berakhir dengan sendirinya apabila terjadi hal-hal berikut:
1. Salah satu pihak yang melakukan akad membatalkan akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap;
2. Muhal melunasi utang yang dialihkan kepada muhal alayh;
3. Muhal meninggal dunia, sedangkan
muhal ‘alayh merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal;
4. Muhal alayh menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan utang dalam akad hiwalah tersebut kepada muhal; atau
5. Muhal membebaskan muhal alayh dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan tersebut.
Demikian pembahasan pada kesempatan ini mengenai “akad hiwalah- pengertian dan syarat rukunnya. Semoga bermanfaat dan kita masih dipertemukan kembali pada pembahasan lanjutan.
DAFTAR ISI