Akad Qardh – Pengertian dan Pendapat Empat Madzhab

Akad Qardh – Pengertian, Hukum dan Pendapat Empat Madzhab – Pinjam meminjam di beberapa lembaga keuangan konvensional salah satu instrumen keuangan yang paling dominan. Perbankan, lembaga pembiayaan, dan unit usaha simpan pinjam sering diidentikkan dengan instrumen keuangan ini.

Hal ini disebabkan apabila lembaga keuangan tersebut tidak menggunakan instrumen pinjam meminjam, maka lembaga keuangan tersebut dipastikan tidak akan berjalan secara efektif.

Sampai pada penggunaan instrumen pinjam meminjam seperti ini sebenarnya tidak ada persoalan. Tetapi, akan muncul persoalan hukum dalam perspektif hukum Islam ketika dalam instrumen keuangan tersebut dilengkapi dengan instrumen bunga.

Ketika peminjam mengembalikan pinjamannya diwajibkan menambah pada pinjaman pokoknya. Dalam perspektif hukum Islam, penambahan atas pokok pinjaman itu dapat dikategorikan kepada riba’.

Sementara hukum riba’ itu sendiri dalam Islam adalah haram. Dalam Islam (fiqh al-mu’âmalah) telah ditemukan satu akad yang berkaitan dengan pinjam meminjam ini, yakni akad gardh.

Akad qardh ini pada gilirannya diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif bagi instrumen pinjam meminjam yang biasa digunakan di lembaga keuangan konvensional.

Namun, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan qardh itu? dan bagaimana implementasi gardh di lembaga keuangan syariah. Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan dideskripsikan pada pembahasan berikut.

Pengertian Qardh (Utang Piutang)

Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’–yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya.

Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutuskan. Dikatakan, qaradha asy-syaia bil-miqradh, atau memutus sesuatu dengan gunting. Al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan ganti di kemudian hari.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antarlembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

Definisi yang di kemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah.

Deskripsi tentang Qardh

Akad qardh

Qardh secara bahasa berarti qath (potongan), di mana harta diletakkan kepada peminjam sebagai pinjaman, karena muqridh (pemberi pinjaman) memotong sebagian harta.

Sedangkan secara istilah, menurut Hanafiyah, qardh berarti sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsli untuk memenuhi kebutuhannya. Qardh juga berarti akad tertentu dengan membayarkan harta mitsli kepada orang lain supaya membayar harta yang sama kepadanya.

Menurut Wahbah al-Zuhaylî, qardh berarti pemilikan sesuatu pada yang lain, yang dalam penggantiannya tidak ada tambahan. Qardh ini adalah masyrů berdasarkan Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 245:

من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له أضعافا كثيرة

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”

Selain itu, ada pula dalil lain yang memperkuat keabsahan akad qardh ini, di antaranya:

يايها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمی فاکتبوه (البقرة ٢٨٢)

“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis.” (OS. Al-Baqarah [2]: 282)

وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة (البقرة: ۲۸۰)

“Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan.” (OS. Al-Baqarah [2]: 280)

Rasulullah Saw. bersabda:

ما من مسلم يقرض ملما قرضا مرين إلا كان گصدقتها مة

“Tidak ada seorang Muslim yang menukarkan kepada seorang Muslim qardh dua kali, maka seperti sedekah sekali.”

لي الواجد يحل عرضه وعقوبته (رواه النساء وأبو داود وابن ماجه وأحمد

“Penundaan (permbayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” (Riwayat Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad)

(إن خيركم أحسنكم قضاء (رواه البخاري

“Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.”(Riwayat Bukhari)

Umat Islam juga telah berijma’ tentang kebolehan qardh ini, karena kebutuhan manusia akan gardh tersebut dalam rangka ta’awun dalam kebaikan dan takwa.

Syarat dan Rukun Qiradh

Keabsahan akad qardh ini perlu didukung oleh terpenuhinya rukun dan syarat qardh itu sendiri. Rukun qardh adalah sebagai berikut:

muqridh (permberi utang), muqtaridh (orang yang berutang), ma’qud alayh (barang yang diutang), dan shighat ijab qabul (ucapan serah terima). Mekanisme akad qardh ini dapat dibuatkan skema sebagai berikut.

 

Qardh itu dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut

1. Muqarrid itu layak untuk melakukan tabarru, karena qardh itu pemilikan harta yang merupakan bagian dari akad tabarru’ tanpa ada penggantian.

2. Harta muqtarid berasal dari harta mitsli, yaitu harta yang dapat ditakar. ditimbang, diukur atau dihitung satuan.

3. Ada serah terima barang, karena qardh merupakan bagian dari tabarru, sementara tabarru’ hanya sempurna dengan adanya serah terima barang (qabdh).

4. Qardh itu memberikan manfaat kepada muqtarid, sehingga tidak diperbolehkan dalam qardh itu muqarrid mensyaratkan adanya tambahan (ziyadah) kepada muqtarid pada saat pengembalian.

Qardh itu tidak boleh dalam dua keadaan.

Pertama, dalam gardh itu tidak ada khiyar atau ajal, karena qardh pada asalnya adalah akad yang tidak tetap yang membolehkan pada setiap aqid memfasakhkannya, sehingga tidak ada khiyar.

Jumhur fuqaha kecuali Malikiyyah berpendapat bahwa tidak boleh dalam qardh itu mensyaratkan ajal. Hal ini disebabkan jual beli mata uang dengan mata uang itu tidak boleh ditangguhkan dalam rangka untuk menghindarkan diri dari riba nasî’ah.

Namun demikian, Imam Malik membolehkan adanya penangguhan dalam qardh dengan alasan sabda Nabi Saw.:

المسلمون على شروطِهم

“Umat Islam itu didasarkan pada persyaratan yang sudah dibuatnya.”

Kedua belah pihak yang melakukan akad memiliki hak untuk melakukan tasharruf dalam akad ini dengan pembatalan dan penyelesaian.

Kedua, qardh itu tidak boleh digabungkan dengan akad lain, seperti jual beli dan yang lainnya. Hal ini ditetapkan dalam rangka menolak dari unsur riba atau menyerupai riba.

Jumhur fuqaha kecuali Malikiyyah berpendapat bahwa muqtarid diperbolehkan memberikan tambahan saat pembayaran jika tidak disyaratkan dalam akad.

Manfaat qardh dalam praktik perbankan syariah banyak sekali di antaranya sebagai berikut:

a. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek.

b. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial.

c. Adanya misi sosial-kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.

Kadang ketika seseorang akan memutuskan bank sebagai mitra usaha terbayang dengan besar kecilnya bunga. Juga besaran sharing profit jika bekerjasama dengan bank syariah. Yang perlu kita bayangkan adalah bank, banik bank umum maupun syariah memiliki tanggungan untuk mensejahterakan karyawan.

Sehingga mengambil bunga (oleh bank umum) dan mengambil sharing profit (bagi bank syariah merupakan hal yang wajar. Tinggal bagaimana kita menyikapi ajaran agama untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang bermuamalat.

Semoga bermanfaat dan sampai jumpa ditulisan selanjutnya.