Hukum Membaca Niat Dengan Lisan Adalah

Hukum Membaca Niat Dengan Lisan Adalah

Hukum membaca niat dengan lisan adalah perkara yang sudah selesai di bahas para ulama. Kita yang awam hendaknya sudah tidak memperdebatkan lagi masalah ini, kita tinggal mengikuti saja ulama mana yang menjadi pegangan kita.

Hukum membaca niat dengan lisan adalah sunah bagi para pengikut mazhab Imam Syafiiy (Syafiiyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah), karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu dalam melaksanakan shalatnya. Dengan demikian, niat itu ada di dalam hati. Sedangkan hukum melafalkannya melalui lisan adalah sunnah karena mampu menolong hati supaya lebih ringan dan mudah terhubung dengan lahiriyah

Pendapat para ulama tentang melafadzkan niat

Berkata as-Syekh Wahbah az-Zuhaili (w 1436 H) :

محل التعيين هو القلب بالاتفاق، ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية، والأولى تركه في صلاة أو غيرها

“Tempatnya niat adalah hati menurut kesepakatan ulama, sedangkan melafadzkannya dengan lisan adalah mandub (dianjurkan) menurut mayoritas ulama selain madzhab Maliki, madzhab Maliki mengatakan : ”boleh melafadzkan niat tetapi meninggalkannya lebih utama, baik itu dalam sholat maupun lainnya.”

Berkata al-Imam Fakhruddin ‘Utsman az-Zaila’i al-Hanafi (w 743 H) :

وأما التلفظ بها فليس بشرط ولكن يحسن لاجتماع عزيمته

“Adapun melafadzkan niat maka bukan merupakan syarat sah sholat tetapi hal ini bagus dilakukan agar terkumpul azamnya (untuk sholat)”

Berkata al-Imam ‘Alau ad-din al-hashfakiy al-Hanafi (w 1088 H) :

والجمع بين نية القلب وفعل اللسان هذه رتبة وسطى بين من سن التلفظ بالنية ومن كرهه لعدم نقله عن السلف

“Menggabungkan niat dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan merupakan posisi yang adil antara pihak yang menjadikannya sunah dan pihak yang memakruhkannya dengan alasan tidak ada contoh dari ulama salaf.”

Berkata Ibn ‘Abidin al-Hanafi (w 1252 H) menjelaskan perkataan beliau :

وهذه أي الطريقة التي مشى عليها المصنف حيث جعل التلفظ بالنية مندوباً لا سنة ولا مكروهاً

“Dan ini merupakan pendapat imam al-Hashfakiy yang menjadikan melafadzkan niat ini merupakan sesuatu yang mandub (dianjurkan) bukan sunah bukan juga makruh.”

Berkata al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w 679 H) :

النية الواجبة في الوضوء هي النية بالقلب ولا يجب اللفظ باللسان معها، ولا يجزئ وحده وإن جمعهما فهو آكد وأفضل، هكذا قاله الأصحاب واتفقوا عليه

“Niat yang wajib ketika berwudhu adalah niat di dalam hati, tidak wajib melafadzkannya dengan lisan dan tidak sah bila niat hanya di lisan saja (tanpa ada niat dalam hati), dan apabila niat dalam hati digabung dengan melafadzkannya dengan lisan maka itu lebih kuat dan lebih afdhol, seperti inilah pendapat ualma Syafi’i dan mereka sepakat tentang ini.”

Beliau juga berkata :

ومحل النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف ولا يكفي عن نية القلب بلا خلاف ولكن يستحب التلفظ مع القلب

“Tempatnya niat adalah hati dan tidak disyaratkan melafadzkannya dengan lisan sebagaimana telah disepakati, dan tidak sah melafadzkan niat tanpa ada niat dalam hati sebagaimana sudah disepakati, tetapi dianjurkan melafadzkan niat dengan lisan disertai niat dalam hati.”

Berkata al-Imam al-Mardawi al-Hanbali (w 885 H) :

يستحب التلفظ بها سراً وهو المذهب ،… قال الزركشي : هو الأولى عند كثير من المتأخرين

“Disunahkan melafadzkan niat secara sirr (pelan) dan ini adalah pendapat madzhab (Hanbali), berkata al-Imam az-Zarkasyi al-Hanbali (w 794 H)  : Pendapat ini adalah pendapat yang paling utama menurut mayoritas mutaakhirin (ulama Hanbali).”

Berkata al-Imam al-Buhuti al-Hanbali (w 1051 H) mengomentari Abu Naja al-Hanbali (w 968 H):

واستحبه أي التلفظ بالنية سرا مع القلب كثير من المتأخرين ليوافق اللسان القلب

“Mayoritas ulama mutaakhirin madzhab Hanbali sangat menganjurkan melafadzkan niat karena kesesuaian antara hati dan lisan.”

Itulah pendapat para ulama lintas madzhab tentang hukum melafadzkan niat, tampak bahwa masalah ini adalah masalah yang luas, yang dimungkinkan untuk adanya perbedaan pendapat, karena tidak adanya nash qoth’i baik dari al-Qur’an maupun dari sunah Nabi  . Adapun memaksakan sebuah pendapat untuk masalah ini adalah sikap yang kurang baik yang lahir dari sifat fanatik berlebihan.