Asuransi Syariah – Konsep Dan Pandangan Ulama | Asuransi saat ini menjadi kebutuhan yang penting. Terutama bagi mereka-mereka yang sadar bahwa hidup di dunia ini banyak sekali risiko-risiko yang akan dihadapi.
Mereka yang sudah sadar akan adanya force majeure dan tidak mungkin menghindarinya akan dengan antusias mengikuti.
Yaitu sebagai antisipasi dan jaga-jaga apabila dikemudian hari terjadi hal yang tidak diharapkan. Seperti saat-saat ini. Efek dari pandemi ekonomi menjadi loyo dan berdampak pada PHK masal.
Jika seseorang sudah siap dengan asuransi. Katakan asuransi pendidikan anak. Maka menghadapi situasi saat ini dengan sedikit lega.
Pasalnya pendidikan anak sudah terjamin dengan premi yang setiap bulan dibayarkan selama masa normal.
Konsep Dasar Asuransi
Asuransi disebut pula takāful, ta’mân, atau tadhámun, yaitu suatu usaha saling melindungi dan saling tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru melalui akad sesuai dengan syariah.
Pendapat lain dikemukakan oleh Fachrudin , dia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu perjanjian keberuntungan.
Menurut Pasal 246 Weetboek van Koophandel Kitab Undang-Undang Perniagaan). Bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah suatu persetujuan yang menyetujui bahwa pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian.
Yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Landasan Hukum
Dalil yang menjadi landasan hukum asuransi syariah adalah firman Allah dalam Alquran seperti di bawah ini.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Ailah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلْأَنْعَٰمِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
“Hai orang-orang yang beriman, penunilah akad-akad itu. Dihalaikan bagimu binatang ternak, kecuati yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Aliah menetapkan hukum-lukum menurut yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَلَا ٱلْهَدْىَ وَلَا ٱلْقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-sy’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-hulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya, dan binatang binatang qaláid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekati-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka), dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam beribuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwatah kamu kepada Allah, sesunggulinya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Alah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan iukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Alah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhrya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisà’ [4]: 58)
Adapun dalil yang bersumber dari beberapa hadis, antara lain adalah hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah yang artinya: “Orang yang melepaskan searang muslim dari kesulitannya di dunia, Aliah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-hamba-Nya selama dia (suka) menolong saudaranya”.
Juga hadis riwayat Imam Muslim dari Nu’man bin Basyir yang artinya: “Perumpamaan orang beriman dalam kash sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit, maka bagian lain akan turut menderita”.
Sementara dalam kaidah ushul fiqh dikatakan bahwa: “Pada dasarnya, semua bentuk mualamah boleh dilakukan kecual terdapat dalil yang mengharamkannya”. Atau, “Pada mudarat harus dihindarkan sedapat mungkin”. Atau, “Segala mudarat (bahaya) harus dihilangkan”.
Pandangan Ulama terhadap Hukumnya
Dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Alquran dan sunah secara eksplisit. Para Ulama pendiri madzhab, seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hambal dan para mutjahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi, karena pada masanya asuransi belum dikenal (Suhendi, 2008: 309).
Selanjutnya, disebutkan oleh Suhendi bahwa di kalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu sebagai berikut.
1. Mengharamkan asuransi yang dipraktekkan seperti sekarang ini.
Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya Fikih As-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i.
Alasannya adalah:
- Pada hakikatnya sama dengan j*di.
- Mengandung unsur gharar yang penuh dengan ketidakpastian.
- Mengandung unsur riba/rente.
- Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
- Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan).
- Asuransi termasuk ‘aqad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan uang tunai; dan
- Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Esa.
2. Membolehkan asuransi yang dipraktikkan saat ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa.
Alasan-alasan yang dikemukakan mereka adalah:
- Tidak ada nash Alquran maupun nash hadis yang melarang asuransi.
- Kedua pihak yang berjanji (polis dan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing.
- Memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak, bukan sebaliknya. Merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
- Asuransi mengandung kemaslahatan umum. Sebab dana dari premi-premi yang terkumpul bisa digunakan investasi yang dapat dimanfaatkan sebagai modal produktif dan pembangunan.
- Asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).
- Termasuk syirkah ta’awuniayah (perserikatan yang bertujuan untuk saling tolong menolong).
- Dianalogikan atau dikiaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen.
- Pada dasarnya dana yang terkumpul dari premi anggota untuk kebaikan dan kepentingan bersama dan berifat umum.
- Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan dan kepribadian.
Dengan alasan-alasan di atas, asuransi dianggap membawa manfaat bagi pesertanya dan perusahaan asuransi secara bersamaan.
Praktik atau tindakan yang dapat mendatangkan kemaslahatan orang banyak dibenarkan oleh agama.
Lebih jauh, Fuad Mohammad Fachruddin menjelaskan asuransi sosial, seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan, yang diakibatkan oleh pekerjaan.
Negara melakukannya terhadap setiap orang yang membayar iuran premi yang ditentukan untuk itu. Bahkan negara pula yang memenuhi kekurangan yang terdapat dalam perbedaan uang yang telah dipungut dengan uang pembayar kerugian.
Dengan demikian, asuransi ini bertujuan untuk kemaslahatan umum yang bersifat sosial. Oleh karena itu, asuransi ini dibenarkan oleh agama Islam.
Asuransi terhadap kecelakaan, jika asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi yang di dalamnya termasuk penabungan).
Hakikat asuransi campur mencakup dua premi, yaitu untuk menutup bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Sehingga hukumnya dibolehkan agama Islam, karena asuransi campur di dalamnya terdapat dorongan untuk menabung, dan menabung itu untuk kemaslahatan umum.
Syaratnya, perusahaan asuransi berjanji kepada para pemegang polis bahwa uang preminya tidak dikerjakan untuk pekerjaan-pekerjaan riba, sehingga hal yang demikian sama dengan hukum penabungan pada pos.
Adapun asuransi kecelakaan yang diadakan (dilaksanakan) dengan asuransi biasa, menurut Fuad Mohammad Fachruddin tidak dibolehkan, karena asuransi ini tidak menuju ke arah kemaslahatan umum dan kepentingan bersama.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersilat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua.
Sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersil semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.
4. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhah
karena tidak ada dalil-dalil syari yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya.
Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhah, konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati (al-ihtryath) dalam menghadapi asuransi.
Umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.
Macam-Macam Asuransi
Pelaksanaan asuransi di berbagai negara, pola dan sistemnya bermacam-macam. Hal ini terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikannya.
Berikut ini macam-macam asuransi.
1. Asuransi Timbal Balik
Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dan mereka saat mendapat kecelakaan.
Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah seterusnya.
2. Asuransi Dagang
Asuransi dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka.
Apabila timbul kecelakaan yang merugikan, salah seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, atau seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankannya.
3. Asuransi Pemerintah
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita mempertimbangkan keuntungannya.
Malahan pemerintah menanggung kekurangan yang ada (mensubsidi) dari kekurangan dana yang dipungut. Sebagai tambahan dana yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi.
Asuransi pemerintah dilakukan secara obligator atau paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.
4. Asuransi Jiwa
Maksudnya adalah asuransi atas jiwa orang-orang yang menanggung atas jiwa orang lain, penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila yang menangggung (yang ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa tertentu.
5. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan
Asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, telinga, tangan, atau atas penyakit tertentu.
Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.
6. Asuransi terhadap Bahaya Pertanggungjawaban Sipil
Maksud asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungjawaban sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, pesawat, kapal laut motor, dan yang lainnya.
7. Asuransi Pendidikan
Asuransi pendidikan adalah dana yang dikumpulkan oleh anggota asuransi yang bertujuan untuk menjamin pendidikan kelompok dari anggota sampai jenjang pendidikan tertentu.
Tujuan dari asuransi pendidikan adalah untuk berjaga-jaga jika anggota asuransi tidak bisa membayar biaya pendidikan kelompoknya. Seperti karena dampak ekonomi efek pandemi saat ini, sehingga banyak PHK terjadi secara masal.
Asuransi dalam Sistem Islam
Menurut Shiddiqi (1987: 51 54), asuransi merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekuensi finansialnya memerlukan santunan.
Asuransi merupakan organisasi penyantun masalah yang universal, seperti kematian mendadak, cacat, penyakit, pengangguran, kebakaran, banjir, badai, dan kecelakaan yang bersangkutan dengan transportasi, serta kerugian finansial yang disebabkannya.
Kecelakaan-kecelakaan seperti di atas tidak hanya bergantung pada tindakan para sukarelawan, kenyataan ini menuntut asuransi untuk diperlakukan sebagai kebutuhan dasar manusia pada ruang lingkup yang sangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi manusia.
Keperluan perlindurigan menghadapi malapetaka dan kerugian finansial yang berkaitan dengan yang dihadapi setiap orang sama pentingnya dengan pemeliharaan ketertiban.
Untuk melenyapkan akibat buruk dari jenis kecelakaan yang diungkapkan di atas. Yang berkaitan dengan ketentuan kesejahteraan umum dan jaminan sosial dalam suatu sistem yang Islami.
Merupakan tugas negara untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sedang mengalami kesulitan dan memenuhi kebutuhan yang muncul akibat kecelakaan mendadak, cacat bawaan, pengangguran sementara, usia lanjut ataupun kemahian wajar dari pencari nafkah kehuarga.
Pada umumnya, negara-negara akan mengandalkan pendapatannya sendiri untuk memenuhi kewajiban ini.
Dalam kasus tertentu, sejumlah sumber khusus dapat juga disadap untuk keperluan ini, misalnya, pihak majikan dibebani alas nama pegLwai dan pekerja mereka, pihak pemerintah dibebani atas nama para pegawai negeri sebagaimana halnya upah atau gaji.
Selanjutnya, disebutkan oleh Shiddiqi (1987: 60 62) bahwa rancangan asuransi yang dipandang sejalan dengan nilai-nilai Islam diajukan sebagai berikut.
1. Semua asuransi yang menyangkut bahaya pada jiwa manusia
Baik mengenai anggota badan maupun kesehatan harus ditangani secara eksklusif di bawah pengawasan negara.
Jika nyawa anggota badan atau kesehatan manusia tertimpa akibat kecelakaan pada industri atau ketika sedang melaksanakan ugas yang diperintahkan oleh majikannya, beban pertolongan dan ganti rugi dibebankan kepada pemilik pabrık atau majikannya.
Prinsip yang sama dapat diterapkan ketika memutuskan masalah pengangguran, apakah tindakan yang harus dilakukan olch majikan atau pemilik pabrik setelah mengakibatkan menganggurnya orang yang bersangkutan.
Bersamaan dengan ini, individu harus diberi kebebasan mengambil asuransi guna menanggulangi kerugian yang terjadi pada kepentingan dirinya dan keluarganya oleh berbagai kecelakaan, sehingga ia dapat memelihara produktivitas ekonomi serta kelanjutan bisnisnya.
Asuransi seperti di atas juga harus menjadi kepentingan negara dengan membawa semua asuransi ke bawah wewenang yang dilaksanakan oleh negara.
Negara harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kekayaan dan harta milik orang banyak dari kebakaran, banjir, kerusakan gempa bumi, badai, dan pencurian.
Kesempatan haruslah diberikan kepada setiap individu untuk mengambil asuransi terhadap kerugian finansial yang terjadi. Uang ganti rugi hendaklah ditetapkan dalam setiap kasus menurut persetujuan kontrak sebelumnya yang menjadi dasar pembayaran premi oleh pemilik kekayaan.
Seseorang yang jatuh miskin misalnya, disebabkan oleh suatu musibah, orang tersebut harus ditolong dari kemiskinan dengan sistem jaminan sosial. Jaminan ini mesti dapat diperoleh tanpa pembayaran premi apa pun.
Akan cocok kiranya jika perusahaan-perusahaan besar seperti industri pesawat terbang wajib untuk diasuransikan, rumah tempat tinggal juga dapat dipertimbangkan menurut jalur-jalur ini, badan swasta yang melakukan usaha asuransi terhadap barang-barang kekayaan juga dapat diizinkan.
2. Prioritas untuk keselamatan
Hendaklah sebagian besar bentuk asuransi yang berkaitan dengan jiwa, perdagangan laut, kebakaran dan kecelakaan dimasukkan dalam sektor negara.
Beberapa di antaranya yang berurusan dengan kecelakaan tertentu, hak dan kepentingan serta kontrak yang biasa diserahkan kepada sektor swasta.
DAFTAR ISI