Akad Musyarakah – Pengertian Dan Ketentuan Hukumnya

Akad Musyarakah – Pengertian Dan Ketentuan Hukumnya

Akad Musyarakah/syirkah Menurut Para Ulama dan Macamnya – Prinsip bagi hasil lain sebagai instrumen keuangan syariah sebagai alternatif bagi instrumen bunga adalah akad musyarakah.

Dengan musyarakah, pinak-pihak yang terlibat dalam lembaga keuangan akan mendapatkan keuntungan dengan terbebas dari bunga yang diidentikkan dengan riba dalam perspektif hukum Islam.

Sebagai salah satu bentuk prinsip bagi hasil. Salah pinak-pihak dalam musyarakah akan ikut menanggung kerugian apabila satu pihak mengalami kerugian.

Dengan demikian, sebagaimana dalam mudharabah, dalam musyarakah pun berlaku prinsip profit and loss share (keuntungan dan kerugian ditanggung bersama) di antara pihak-pihak yang melakukan akad.

Musyarakah dalam lembaga keuangan syariah merupakan instrumen penting yang sangat melekat, selain akad mudharabah sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya.

Hal ini mengandung arti bahwa apabila sebuah lembaga keuangan syariah tanpa menggunakan akad musyarakah sebagai instrumen utamanya, maka lembaga keuangan syariah itu tidak sempurna dan tidak terkesan kesyariahannya.

Namun, tentu saja, implementasi dari akad musyarakah di lembaga keuangan syariah itu mengalami modifikasi yang disesuaikan dengan karakteristik dari lembaga keuangan syariah itu sendiri.

Dalam konteks ini, maka muncul pertanyaan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan musyarakah dan bagaimana implementasinya di lembaga- lembaga keuangan syariah itu?

Pembahasan di bawah ini akan diarahkan untuk menjawab persoalan pokok tersebut, di samping persoalan lain yang memiliki relevansi dengan masalah musyarakah.

Pengertian musyarakah

Secara bahasa musyarakah sering pula disebut dengan syirkah yang bermakna ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan di antara keduanya.

Musyarakah juga bisa berarti seseorang mencampur hartanya dengan harta orang lain dengan mana salah satu pihak tidak menceraikan dari yang lainnya.

Secara terminologi, musyarakah berarti akad di antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam modal dan keuntungan. Para fuqaha membuat definisi tentang musyarakah ini sangat bervariatif, sekalipun sesungguhnya secara substantif tidak berbeda secara signifikan.

Hanafiyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musyarakan adalah akad yang dilakukan oleh orang- orang yang berserikat dalam modal dan keuntungan.

Malikiyyah menyatakan bahwa musyarakah adalah akad yang mengizinkan masing-masing pihak yang berserikat untuk bertasharruf pada harta yang diserahkannya beserta tetapnya hak bagi masing-masing pihak.

Sedangkan Syafi’iyyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan musyarakah adalah tetapnya hak terhadap sesuatu bagi dua orang atau lebih. Dengan cara yang tersebar (dalam pembagian keuntungan).

Pengertian musyarakah secara singkat menurut Hanabillah adalah musyarakah dengan perkumpulan dalam mendapatkan hak dan tasharruf.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan musyarakah adalah akad antara dua pihak atau lebih untuk berserikat dalam hal modal dan keuntungan yang diperoleh.

Oleh karena itu, dalam musyarakah terdapat lima unsur, yaitu ‘aqidayn (dua orang yang berkad), aqd (ijab dan qabul), ma’qud ‘alayh, dan ribh (keuntungan).

Pembagian musyarakah

Hal lain yang perlu dideskripsikan tentang musyarakah ini adalah syarat- syarat keabsahan musyarakah. Namun, pembahasan tentang syarat-syarat keabsahan musyarakah berkaitan erat dengan pembagian musyarakah itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam uraian berikut akan dideskripsikan tentang pembagian musyarakah berikut syarat-syarat dari masing-masing musyarakah tersebut. Secara umum, musyarakah terbagi kepada dua bagian besar, yaitu syirkah d-amlâk dan syirkah al-‘uqud.

Syirkah al-amlâk itu sendiri terbagi kepada dua bagian besar, yaitu syirkah al-jabr dan syirkah al-ikhtiyar. Sedangkan syirkah al- uqud terdiri dari empat jenis, yaitu syirkah al-mufawadhah, syirkah al- Inan, syirkah al-wujûh, dan syirkah abdan.

Syarat musyarakah

Pembagian musyarakah ini dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam pembahasan tentang syarat-syarat musyarakah ini, maka dapat dipilah pada syarat-syarat umum yang berlaku pada semua musyarakah dan syarat-syarat khusus yang berlaku pada musyarakah tertentu. Syarat-syarat umum ini berkaitan dengan ma’qud alayh (barang yang diakadkan) dan ribn (keuntungan).

Ma’qud alayh disyaratkan berupa barang yang dapat diterima untuk diwakalahkan, sehingga tidak diperbolehkan berserikat dalam berburu. Mengambil kayu, dan mengumpulkan rumput.

Karena barangnya bersifat mubah yang tidak boleh dijadikan sebagai ma’qud alayh dalam akad wakalah. Sedangkan ribh hendaknya dibagi dengan kadar atau porsi pembagian yang dapat diketahui secara pasti, seperti setengah, sepertiga, atau sejenisnya.

Sebab, apabila ribh itu tidak diketahui secara pasti atau ditentukan dengan jumlah tertentu, maka akad musyarakah menjadi fasad (rusak). Dalam syirkah al-mufawadhah dan syirkah al-inan disyaratkan bahwa ra’s al-mal hendaknya berupa mata uang, sehingga tidak diperbolehkan ra’s al-mal berupa barang tidak diketahui secara pasti nilai nominalnya.

Syirkah mufawadhah

Selain itu, dalam syirkah al-mufawadhah dan svirkah al-inan ini disyaratkan pula bahwa ra’s al-mål hendaknya ada pada saat berlangsungnya akad atau pada saat tasharruf. Ra’s al-mal juga disyaratkan bukan berupa utang.

Karena utang tidak tampak wujudnya sedangkan salah satu syarat dari akad adalah hadirnya harta. Svarat khusus dalam syirkah al-mufâwadhah bahwa ra’s al-mâl yang diberikan oleh pihak-pihak yang berserikat hendaknya sama.

Apabila ra’s al-mal vang diserahkan itu dua mata uang yang berbeda, maka harus disamakan terlebih dahulu nilainya. Syarat lainnya bahwa salah satu pihak tidak diperkenankan untuk menyembunyikan sebagian hartanya dalam memenuhi ra’s al-mal, tetapi mesti mengeluarkan semua hartanya.

Syarat berikutnya adalah bahwa masing-masing pihak yang berserikat hendaknya cakap untuk melakukan kafalah, yakni sama-sama merdeka, berakal, dan beragama sama. Berkaitan dengan keberlakuannya, musyarakah ini hendaknya berlaku umum pada setiap jenis perdagangan dan tidak boleh ditentukan pada salah satu jenis barang tertentu.

Syirkah ‘inan

Syarat khusus dalam syirkah al-‘inân bahwa ra’s al-mâl yang diserahkan oleh masing-masing pihak mesti tampak, baik pada saat akad berlangsung maupun pada saat tasharruf. Selain itu, ra’s al-mâl yang diserahkan oleh masing-masing pihak mesti dicampurkan.

Namun demikian, dalam syirkah al- inan ini tidak disyaratkan sama dalam ra’s al-mal seperti dalam syirkah al-mufawadhah. Syarat lainnya bahwa dalam syirkah al-‘inan mesti dapat diberlakukan akad wakalah. Di mana masing-masing pihak menjadi wakil bagi sekutunya dalam pembelian dan penjualan barang.

Selain syarat-syarat di atas, dalam musyarakah juga ditentukan syarat- syarat yang berkaitan dengan masing-masing rukun musyarakah.  Yang meliputi rukun shighat, ra’s al-mal, ‘aqidayn, dan ribh.

Dalam shighat disyaratkan dengan sesuatu yang menunjukkan pada musyarakah berdasarkan adat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dalam ra’s al-mal ditetapkan syarat mesti berupa mata uang.

Namun demikian, diperbolehkan salah satu pihak menyerahkan ra’s al-mal berupa barang, tetapi mesti diketahui terlebih dahulu nilai uangnya. Hal ini penting dilakukan karena berkaitan dengan penentuan porsi bagi hasil.

Sedangkan aqidayn dalam musyarakah disyaratkan hurriyah (merdeka) atau bisa juga hamba sahaya. Tetapi harus diizinkan oleh tuannya untuk Derniaga, Selain itu, aqidayn juga disyaratkan cakap (rusyd) dan dewasa. Keuntungan (ribh) dalam musyarakah harus dibagi sesuai dengan kadar odal yang diserahkan oleh masing-masing pihak.

Demikian pula pekerjaan yang dilakukan mesti dihitung sebagai bagian dari saham yang berhak mendapatkan bagian dari keuntungan. Apabila itu semua tidak dipertimbangkan dalam pembagian keuntungan, maka hukum musyarakah menjadi batal.

Demikianlah pengertian musyarakah dan beberapa hal yang perlu disajikan terlebih dahulu sebelum menjelaskan tentang bagaimana implementasi musyarakah di lembaga keuangan syariah pembahasan. Berikutnya akan disajikan tentang bagaimana implementasi musyarakah di lembaga keuangan syariah tersebut.