Pengertian Gharim

Gharim adalah orang yang memiliki hutang. Orang yang memiliki hutang berhak menerima zakat. Namun, orang-orang yang berhutang untuk kepentingan maksiat seperti ju*i dan berhutang demi memulai bisnis lalu bangkrut, hak mereka untuk mendapat zakat akan gugur.

Gharim adalah

Gharim adalah orang yang memikul hutang demi satu dari dua kepentingan:

Kepentingan (kemaslahatan) umum, seperti seseorang yang berhutang demi membayar ganti rugi kerusuhan atau pertikaian di antara dua pihak dari kaum muslimin, dia melakukan hal itu demi mendamaikan kedua kubu dan menghentikan pertikaian.

Kepentingan pribadi yang mubah dan menjadi tuntutan hidupnya, seperti berhutang untuk membiayai pengobatan dirinya atau untuk membeli kendaraan yang diperlukannya.

Gharim atau orang yang terlilit hutang memang termasuk dalam kategori yang mendapat dana zakat untuk melepaskannya dari lilitan hutangnya itu. Dalam Al-Quran, telah disebutkan 8 kelompok yang berhak menerima zakat dan salah satuya adalah:

Al-Gharimin. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana . (QS. At-Taubah : 60) Sedangkan kriteria seorang gharim yang berhak mendapatkan dana zakat, para ulama menentukan syarat-syaratnya secara umum, antara lain:

1. Orang tersebut memang tidak melunasi hutangnya. Sehingga seorang yang masih memiliki harta dalam bentuk lain dan masih ada kemungkinan untuk melunasi hutangnya, tidak diberikan dana zakat. Misalnya, seseorang terbelit hutang Rp. 100 juta dan dia tidak punya uang tunai untuk melunasinya. Namun dia masih punya tanah dengan luas 1.000 m yang NJOP-nya per meter Rp. 100.000. Maka jelas-jelas tidak boleh diberikan dana zakat kepadanya karena pada dasarnya dia masih memiliki harta. Kecuali bila nilai jual tanahnya itu kurang dari nilai hutangnya, maka selisihnya saja yang diberikan oleh amil dari dana zakat.

2. Hutangnya di dalam masalah kebaikan atau dalam masalah yang mubah. Sedangkan bila dia berhutang untuk masalah yang haram seperti khamar, zina, ju*i dan lain-lainnya maka sama sekali tidak berhak mendapatkan dana zakat. Atau pun hutang pada masalah yang hukum dasarnya mubah namun dia melakukannya dengan berlebih-lebihan (israf). Karena perilaku israf sendiri sudah terlarang meski untuk hal-hal yang mubah. Allah SWT berfirman: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A`raf : 31) Dana zakat tidak diberikan kepada orang yang berhutang dalam maksiat karena akan membantu kemungkaran. Kecuali bila dia bertaubat. Namun para ulama mensyaratkan bahwa seseorang yang berhutang pada masalah kemaksiatan harus bertobat dulu dengan sebenar-benar taubat dan ada masa waktu dimana dia menunjukkan kebenaran tobatnya, barulah imam nanti akan menentukan apakah dia berhak mendapatkan bantuan dana zakat untuk melepaskannya dari hutang yang melilitnya atau tidak.

3. Hutangnya harus segera dibayarkan Dana zakat bisa diberikan kepada gharim dengan syarat bahwa saat ini memang harus segera melunasinya. Sedangkan bila masih bisa ditunda dan ada kemungkinan untuk melunasinya nanti, maka belum boleh dikeluarkan. Ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama, karena ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa tidak perlu syarat harus dalam kondisi segera melunasi. Jalan tengah dari kedua pendapat ini adalah dengan melihat anggaran atau kas dana yang ada pada baitul mal. Bila persediaannya banyak dan cukup, maka tidak mengapa untuk memberikan segera kepada gharim, sedangkan bila keuangannya sedikit, maka ditunggu sampai benar-benar membutuhkan.

4. Hutangnya adalah hutang kepada sesama manusia bukan kepada Allah. Hutang kepada Allah misalnya hutang untuk membayar zakat atau kaffarah. Sedangkan hutang kepada sesama manusia seperti hutang kepada rekan bisnis, tetangga dan termasuk kepada orang tua sendiri. Syarat terakhir ini diajukan oleh mazhab Malikiyah saja dan tidak oleh mazhab lainnya. Termausk dalam kriteria gharimini adalah mereka yang terkena bencana tiba-tiba seperti yang tertimpa musibah baik rumahnya terbakar habis, atau rumahnya hanyut oleh banjir, gempa bumi, tanah longsor dan sejenisnya.