Akad Wadi’ah (Simpanan) – Pengertian Dan Ketentuannya

Akad Wadi’ah (Simpanan) – Pengertian Dan Ketentuannya

Akad wadi’ah menurut ulama’ – Di beberapa lembaga keuangan konvensional, terutama di bank, tabungan merupakan salah satu instrumen yang sangat penting. Instrumen Tabungan ini dijadikan sebagai salah satu produk lembaga keuangan dalam upaya menjaring dana dari masyarakat.

Riba dan bank syariah

Penjaringan dana dari masyarakat merupakan langkah strategis yang dilakukan oleh lembaga keuangan dalam upaya memperbanyak modal yang kemudian akan diinvestasikan lebih lanjut kepada nasabah berikutnya.

Bahkan, tabungan di beberapa lembaga keuangan dijadikan sebagai produk utama dalam menjaring dan merekrut dana dari masyarakat dalam rangka pengumpulan modal lembaga keuangan. Sampai uraian ini, dalam instrumen tabungan sesungguhnya tidak ada masalah yang perlu dipersoalkan dan diperbincangkan secara signifikan.

Namun, ketika pada instrumen tabungan ini diikutsertakan prinsip bunga sebagai motivator terhadap nasabah untuk menitipkan dananya, maka muncullah persoalan hukum, terutama dalam perspektif hukum Islam. Hal ini disebabkan bunga, dalam wacana hukum Islam, masih diidentikkan dengan ribâ yang dilarang dan diharamkan oleh Islam.

Menurut mayoritas fuqaha, bunga dan riba memiliki kesamaan dalam aspek ziadah (tambahan) atas simpanan pokok pada saat pengembalian uang kepada pemiliknya. Dalam wacana fiqh dan ekonomi Islam, sesungguhnya ada sebuah akad muamalah yang memiliki kemiripan dengan tabungan, yaitu akad wadi’ah.

Di beberapa lembaga keuangan Syariah, instrumen wadi ah ini dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk merekrut dan menjaring dana dari masyarakat. Pada gilirannya, instrumen wadi ah ini dijadikan sebagai instrumen alternatif untuk menggantikan tabungan yang diperlengkapi dengan instrumen bunga di lembaga keuangan konvensional.

Persoalannya sekarang, apa yang dimaksud dengan Akadwadî ah, ketentuan apa yang ada dalam Akad wadî ah, dan bagaimana implementasi Akadwadiah di lembaga keuangan syariah. Tiga masalah pokok inilah yang akan dideskripsikan dalam pembahasan berikut.

Pengertian Wadi’ah

Wadi’ah itu diambil dari lafaz wad’ al-sya’i (menitipkan sesuatu) dengan makna meninggalkannya. Dinamakan sesuatu yang dititipkan seseorang kepada yang lain untuk menjaganya bagi dirinya dengan wadi ah karena la meninggalkannya pada pihak yang dititipi.
Oleh karena itu, secara bahasa, wadi ah berarti sesuatu yang diletakkan pada selain pemiliknya agar dipelihara atau dijaga.

Wadi’ah ini merupakan nama yang berlawanan antara memberikan harta untuk dipelihara dengan penerimaan yang merupakan mashdar dan awda’a (ida”) yang berarti titipan dan membebaskan atas barang yang dititipkan.

Pengertian Akad wadi’ah menurut madzhab empat

Pengertian wadi`ah secara istilah, di antara para fuqaha terjadi perbedaan dalam redaksional. Namun demikian, secara substantif pengertian wadi’ah yang didefinisikan para fuqaha tersebut tidak jauh berbeda.

Hanafiyah misalnya mengartikan wadi’ahdengan penguasaan kepada pihak lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharîh maupun dalâlah.

Sedangkan Malikiyyah hampir mirip dengan Syafi’iyyah mengartikan wadiah dengan perwakilan dalam menjaga harta yang dimiliki atau dihormati secara khusus dengan cara tertentu.

Hanabillah mengartikan wadi’ah dengan akad perwakilan dalam penjagaan harta yang bersifat tabarru atau akad penerimaan harta titipan sebagai wakil dalam penjagaannya.

Dari beberapa definisi di atas, maka secara kumulatif dapat disimpulkan bahwa wadi ah memiliki dua pengertian.

Pertama, pernyataan dari seseorang yang memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untuk memelihara atau menjaga hartanya.

Kedua, sesuatu atau harta yang dititipkan seseorang kepada pihak lain agar dipelihara atau dijaganya.

Pada pengertian yang pertama wadi’ah lebih diartikan sebagai tasharuf yang dilakukan oleh pemilik harta kepada pihak lain untuk menjaga hartanya. Sedangkan dalam pengertian yang kedua wadi’ah lebih diartikan sebagai harta yang dititipkan oleh pemiliknya kepada pihak lain.

Wadi’ah adalah permintaan dari seseorang kepada pihak lain untuk mengganti dalam memelihara atau menjaga hartanya. Yakni permintaan untuk mengganti pihak yang memiliki harta.

Hal ini berarti bahwa wadiah itu menetapkan permintaan mengganti posisi pemilik harta untuk menjaganya. Dalam konteks ini, wadi ah memiliki makna yang sama dengan wakalah, dimana pemilik harta mewakilkan kepada pihak lain untuk menjaga dan atau memelihara hartanya.

Dari pemaknaan ini, maka dapat dipahami pula bahwa wadiah itu pada hakikatnya adalah amanat yang diberikan oleh pemilik harta kepada pihak yang dititipi. Dan wajib mengembalikannya kepada pemiliknya pada saat pemilik menghendakinya.

Hal ini disebabkan wadi’ah dan amanah merupakan dua kata untuk makna yang hampir sama (sinonim), meskipun tidak persis Sama. Wadi’ah merupakan permintaan secara sengaja untuk menjaga, sedang amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada seseorang, baik dengan maksud wadi’ah atau bukan.

Dalam hal ini, wadi’ah adalah kepercayaan dalam makna khusus, sedang amanah adalah kepercayaan dalam makna umum.

Allah Swt. berfirman:

فإن أمن بغضكم بعضا فليؤد الذري اؤثمن أمانته وليتق الله ربه)۲۸۳ :البقرة

Dan jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaklah bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS al-Baqarah [2]: 283)

Skema operasional Akad wadi’ah

Secara skematis, mekanisme operasional wadi’ah dapat dibuatkan bagan sebagai berikut:

Skema operasional Akad wadi’ah

Dalam konteks akad secara umum, Akad wadi’ah ini dapat digolongkan kepada akad tabarru’, sama seperti akad hibbah dan ‘âriyah.10 Hal ini berarti bahwa wadiah dilakukan oleh wadi’ tanpa mengharapkan keuntungan materi apapun. Oleh karena itu, kalau wadi merasa mampu memelihara dan memikul amanah, maka ia dianjurkan untuk menerimanya.

Hal ini disebabkan muwadda’ termasuk perbuatan menolong orang lain yang diperintah oleh Islam. Akan tetapi kalau tidak ada orang lain yang bisa memikul amanah tersebut, wajib bagi orang yang diserahi untuk menerima wadi’ah tersebut.

Namun, dalam kondisi ini pihak yang dititipi berhak meminta imbalan atas jasa pemeliharaannya.” Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sekalipun pada awalnya wadi’ah itu bersifat tabarru’. tetapi dalam kondisi tertentu wadi memiliki hak pula untuk meminta fee atas jasa penjagaan atau pemeliharaan atas harta orang lain.

Macam-macam Akad wadi’ah

Dalam pembahasan berikutnya, Akad wadi’ah ini dapat dipilah menjadi bagian besar, yakni wadi’ah yad al-amânah dan wadi`ah yad al-dhamânah.

Wadiah yad al-amanah

Akad Wadiah yad al-amânah adalah akad penitipan barang atau uang dipihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipka. Dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.

Wadi’ah yad al-dhamânah

Sedang Akad wadi’ah yad al-dhamânah adalah akad penitipan barang atau uang di mana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang atau uang titipan. Dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang titipan jadi hak penerima titipan.

Dari pembagian Akad wadiah di atas, maka dapat diketahui bahwa wadi’ah yang paling mungkin diimplementasikan di lembaga keuangan syariah adalah wadi’ah yad al-dhamanah.

Hal ini disebabkan dalam wadi ah tersebut, lembaga keuangan syariah diperkenankan untuk memberdayakan harta atau uang yang dititipkan kepadanya. Lembaga keuangan syariah tidak mungkin mengimplementasikan wadi’ah yad al-amânah. Karena wadi’ah ini berimplikasi pasif atas uang yang dititipkan kepada lembaga keuangan syariah.

Apabila wadi ah ini yang digunakan maka lembaga keuangan syariah akan lahir menjadi lembaga sosial. Sementara lembaga keuangan syariah itu sendiri merupakan lembaga bisnis atau lembaga investasi.

Dari bagan mekanisme operasional wadiah di atas, tampak bahwa ada beberapa unsur yang mesti ada dalam wadi’ah. Unsur-unsur tersebut adalah muwaddi (orang yang menitipkan). Wadi” (orang yang dititipi barang). Wadi’ah (barang yang dititipkan), dan shighat (ijáb dan qabûl).

Dari unsur-unsur tersebut yang memiliki penekanan lebih dalam pembahasannya adalah masalah yang berkaitan dengan hak dan kewajiban wadi”. Pada awalnya wadi tidak berhak mendapatkan imbalan dalam wadi ah, tetapi jika muwaddi memberikan imbalan, maka wadi diperbolehkan untuk menerimanya. Ada beberapa keadaan di mana wadi berkewajiban untuk mengganti wadi ah yang rusak pada dirinya atau bahkan hilang.

Kewajiban mengganti barang titipan pengertian

Kewajiban mengganti itu disebabkan wadi dipandang telah melanggar ketentuan atau kesepakatan yang mesti dijalankan dalam melaksanakan akad wadi’ah. Keadaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wadi’ meninggalkan tugas memelihara harta titipan;
2. Wadi’ melanggar kesepakatan dengan muwaddi tentang cara memeliharaharta titipan;
3. Wadi’ menyerahkan harta titipan kepada pihak lain
4. Wadi’ Mengambil manfaat atas harta titipan
5. Wadi’ Bepergian dengan harta titipan tanpa seizin muwaddi’
6. Wadi’ Mengingkari harta titipan kemudian mengakuinya

Keuntungan Akad Wadi’ah

Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari akad Wadi’ah, di antaranya:

  1. Aman: Nasabah dapat merasa aman karena dana yang disimpan di bank syariah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sama dengan bank konvensional.
  2. Mudah: Akad Wadi’ah sangat mudah dilakukan, karena hanya membutuhkan proses setor dan tarik dana.
  3. Fleksibel: Nasabah dapat melakukan penarikan dana kapan saja tanpa harus membayar biaya penalti atau denda.
  4. Berkah: Dalam akad Wadi’ah, bank tidak mengambil keuntungan dari dana nasabah, sehingga nasabah dapat merasa lebih tenang dalam menggunakan dananya, karena tidak ada hutang atau kewajiban tambahan yang harus dibayar.