Akad Mudharabah – Pengertian Dan Penjelasan Ulama
Pengertian akad mudharabah Menurut Ulama dan Penjelasannya – Pada pembahasan sebelumnya kangsantri telah menyediakan informasi tentang murabahah. Kali ini akan membahas mengenai mudharabah.
Dewasa ini, lembaga keuangan syariah berkembang di Indonesia dan mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Salah satu indikator lembaga keuangan syariah diperhatikan masyarakat Indonesia. Terutama dari kalangan umat Islam, karena lembaga tersebut diidentifikasi sebagai lembaga keuangan yang bebas bunga (interest-free).
Instrumen bunga ditiadakan dalam lembaga keuangan syariah karena diidentikkan dengan riba yang diharamkan dalam Islam. Padahal pada saat yang bersamaan, lembaga keuangan konvensional tumbuh dan berkembang bersama dengan bunga sebagai instrumen keuangan utamanya. Tanpa ada bunga, maka lembaga keuangan konvensional tidak akan berkembang seperti saat ini.
Persoalannya sekarang adalah, instrumen apa yang digunakan lembaga keuangan dan bank syariah apabila tidak menjadikan bunga sebagai instrumen keuangannya? Memang, dalam lembaga keuangan syariah telah diperkenalkan beberapa instrumen keuangan sebagai pengganti instrumen bunga.
Instrumen tersebut adalah sebuah instrumen yang lebih mengedepankan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Keuntungan yang diperoleh dan kerugian yang diderita ditanggung secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Oleh karena itu, kedua belah pihak yang melakukan transaksi akan saling memperhatikan kemajuan dan kemunduran usaha yang dijalankan. Diantara prinsip bagi hasil yang paling menonjol dan bahkan paling populer adalah mudharabah.
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan mudharabah itu? Dan bagaimana implementasinya di lembaga-lembaga keuangan syariah. Tema bahasan inilah yang akan dideskripsikan dalam pembahasan berikut.
Pengertian Tentang Mudharabah
Secara bahasa mudharabah diambil dari kata al-dharb fi al-Ardh, yang berarti perjalanan untuk berniaga. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Muzzammil ayat 20:
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Dan yang lainnya berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
Pengambilan kata ini disebabkan amil atau mudharib meletakkan didalam mudharabah untuk bekerja dengan cara berniaga (tijarah) dan mencarikeuntungan dengan permintaan dari pemilik modal (rab al-mal).
Sebenarnya ada dua istilah yang biasa digunakan untuk term ini, yaitu mudharabah dan qirad? Term mudharabah merupakan istilah yang biasa digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan term qirad merupakan istilah yang biasa digunakan oleh penduduk Hijaz.
Penduduk Hijaz menamai mudharabah dengan qiradh yang diambil dari kata qardh yang berarti qath’u (memotong). Karena rab al-mal memotong sebagian hartanya dan menyerahkannya kepada’amil, atau memotong sebagian keuntungan yang ditimbulkan dari usaha’amil. Qiradh yang diambil dari kata muqaradhah yang berarti musaswah (bersama-sama).
Secara istilah, mudharabah berarti seorang malik atau pemilik modal menyerahkan modal kepada seorang amil untuk berniaga dengan modal tersebut. Di mana keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi bagian sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam akad.
Dalam Fatawa al-Azhar disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah adalah akad untuk berserikat dalam keuntungan di mana modal dari satu pihak yang berserikatdan pekerjaan dari pihak lain menurut syarat-syarat tertentu.
Sedangkan dalam Fatawa al-Mu’ashirah disebutkan bahwa mudharabah dalam fiqh Islam merupakan salah satu jenis dari syirkah yang di dalamnya ada pokok modal (ra’s al-mal) dari satu pihak dan pekerjaan (amal) dari pihak yang lain.
Mekanismenya, seseorang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk diniagakan dengan keuntungan yang diperoleh dibagi di antara keduanya sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad di antara dua belah pihak di mana salah satu pihak menyerahkan modal kepada yang lain untuk berniaga pada modal tersebut dengan keuntungan dibagi di antara keduanya dengan porsi sesuai hasil kesepakatan.
Dari beberapa pengertian tentang mudharabah di atas, maka dapat dipahami bahwa mudharabah itu adalah akad di antara dua belah pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan modal dan pihak lainnya memberdayakan modal tersebut untuk usaha. Serta keuntungan yang diperoleh dibagi bersama dengan porsi bagi hasil disepakati pada saat akad.
Skema pembiayaan mudharabah
Secara skematis, pemaknaan mudharabah dapat dibuatkan bagan sebagai berikut.
Dalam konteks fiqh, ada beberapa ketentuan yang berkaitan denganmudharabah ini. Ketentuan fiqh yang paling utama berkaitan erat dengan implementasi mudharabah dalam lembaga keuangan syariah adalah rukundan syarat mudharabah, hak nafkah bagi amil dalam menjalankan usahanya,serta masa berakhirnya mudharabah.
Rukun Murabahah
Rukun mudharabah terdiri dari dua orang yang melakukan akad (‘aqidayn) / transaksi yang terdiri dari pemilik modal (rab al-mal), pengelola modal (‘amil atau mudharib), modal (ra’s al-mal), dan keuntungan (ribh).
Bagi ‘aqidayn (dua orang yang akad) disyaratkan cakap dalam tawkil dan wakalah. Karena ‘amil melakukan daya upaya dalam urusan rab al-mal.
Sedangkan bagi ra’s al-mal ditetapkan 4 syarat, yaitu:
- Ra’s al-mal mesti berupa mata uang (nuqûd) yang berlaku dalam muamalah. Penetapan syarat ini disebabkan mudharabah merupakanbagian dari syirkah, sedangkan syirkah itu tidak sah kecuali dengan mata uang, tidak boleh dengan barang dari perlengkapan rumah atau yang diriwayatkan menurut jumhur. Sebagai upaya pencegahan dari terjadinya ketidaktahuan keuntungan waktu pembagian.
- Ra’s al-mal diketahui ukurannya. Apabila tidak diketahui, maka mudharabahitu menjadi tidak sah. Karena ketidaktahuan ra’s al-mal akan membawakepada ketidakjelasan keuntungan.
- Ra’s al-mal mesti sesuatu yang hadir bukan berupa utang. Tidak sah mudharabah atas utang dan harta yang tidak ada secara ittifaq.
- Ra’s al-mal diserahkan kepada ‘amil agar dapat berusaha dengan ra’sal-mal tersebut. Hal ini disebabkan ra’s al-mal merupakan amanat yangdiberikan kepada amil. Oleh karena itu, mudharabah itu tidak sahkecuali ada penyerahan.
Syarat keuntungan (ribh)
Syarat yang berkaitan dengan keuntungan (ribh) adalah sebagai berikut.
- Keuntungan itu hendaknya diketahui ukurannya oleh kedua belah pihak yang berakad. Tidak diketahuinya ukuran keuntungan dapat menyebabkan rusaknya akad.
- Keuntungan itu hendaknya bagian yang tersebar dan tidak ditentukansecara pasti, dan sebagian dari keuntungan itu bukan dari ra’s al-mal,yakni perbandingan persentase.
Nafkah amil di negerinya hanya berasal dari hartanya sendiri. Sedangkan ketika perjalanan, maka nafkahnya berasal dari harta mudharabah atau darikeuntungan jika ad. Sampai kembali dari perjalanannya. Ukuran nafkah disesuaikan dengan nafkah yang wajar.
Yaitu kebiasaan dalam perniagaan dantidak berlebihan.Dalam persoalan nafkah yang diambil dari harta mudhärabah, sesungguhnyadi kalangan fuqaha telah terjadi perbedaan pendapat.
Menurut Imam Syafi’i, amil tidak boleh menafkahi dirinya dari modal, baik berada di tempatmaupun sedang bepergian, kecuali jika diizinkan oleh rab al-mal.
Hal inidisebabkan amil memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari keuntungan dan tidak berhak mendapatkan yang lain.
Sedangkan Abu Hanifah, Imam Malik dan Zaidiyah berpendapat bahwa ‘amil berhak menafkahkan modal dalam perjalanan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, seperti makan dan pakaian.
Sedangkan Hanabilah menyatakan bahwa ‘amil berhak menafkahkan modal untuk dirinya bila disyaratkan pada waktu akad.
Masa berakhirnya mudharabah
Hal lain yang perlu disajikan berkaitan dengan masalah mudharabah ini adalah masa berakhirnya mudharabah. Menurut Wahbah al-Zuhaylî, ada beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya mudharabah, yaitu:
1. Pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan
Pembatalan mudharabah karena pembatalan dan larangan tasharruf atau pemecatan apabila ditemukan syarat pembatalan dan larangan, yang diketahui oleh pemiliknya, serta apabila ra’s al-mal yang berupa uang atau mata uang itu telah diserahkan pada waktu pembatalan dan larangan. Namun, apabila amil tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, maka ‘amil dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
2. Salah seorang yang berakad meninggal dunia
Menurut jumhur ulama, apabila rab al-mal atau amil meninggal dunia, maka dengan sendirinya mudharabah menjadi batal. Hal ini disebabkan karena mudharabah meliputi wakalah, sedangkan wakalah itu batal apabila muwakil atau wakil meninggal dunia. Wafatnya salah seorang yang berakad menyebabkan batalnya mudharabah, baik kewafatannya itu diketahui atau tidak diketahui oleh pihak lain.
Hal ini disebabkan karena kematian itu merupakan pemecatan yang bersifat hukmî, yang tidak berdiri di atas pengetahuan, seperti dalam wakalah. Namun demikian, menurut Malikiyyah, mudharabah itu tidak batal apabila pihak yang meninggal itu telah mewariskan kepada ahli waris untuk melanjutkan akad mudharabah.
3. Salah seorang yang berakad gila
Mudharabah itu menjadi batal apabila salah satu pihak yang berakad terkena penyakit gila. Hal ini disebabkan karena secara hukum gila itu dapat menghilangkan kecakapan hukum.
4. Rab al-mal murtad dari Islam
Menurut Hanafiyah, apabila rab al-mal murtad dari Islam dan meninggal atau terbunuh dalam kemurtadan atau bergabung dengan musuh dantelah diputuskan hakim tentang pembelotannya, maka dapat membatalkan mudharabah. Hal ini disebabkan murtad dapat menghilangkan kecakapanhukum rab al-mal dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan aiantara ahli warisnya.
5. Modal rusak di tangan amil
Apabila modal rusak di tangan amil sebelum membeli sesuatu, makamudharabah itu menjadi batal karena harta itu menentukan pada akad mudharabah dengan penerimaan. Batalnya akad karena rusaknya modalseperti halnya dalam wadî ah.
Demikian pembahasan dari kangsantri.id mengenai pengertian mudharabah menurut ulama dan penjelasan-penjelasannya. Semoga bermanfaat dan akhirnya
والله الموفق الى أقوم الطريق…والسلام عليكم
DAFTAR ISI