Akad Ji’alah – Pengertian Dan Ketentuannya

Akad Ji’alah – Pengertian Dan Ketentuannya

Akad ji’alah atau Ju’alah – Syariah telah mengatur berbagai aspek kehidupan umat manusia mulai urusan ibadah sampai pada urusan yang terkait dengan masalah ekonomi.

Masalah ekonomi yang disajikan syariah tidak hanya dalam bidang yang popular, tetapi juga berkaitan dengan bidang yang kurang popular dalam masyarakat. Di antara bidang yang kurang popular dalam masyarakat tetapi disinggung oleh syariah adalah masalah jialah.

Ji’alah ini adalah akad dalam mu’amalah yang kurang bahkan tidak familiar dalam pemahaman umat Islam. Bahkan, akad ini termasuk akad yang jarang dibahas baik dalam lingkup masyarakat luas maupun dalam masyarakat akademik.

Biasanya dalam lingkup akademik hanya membahas seputar mudharabah, murabahah, wakalah dan ijarah. Hanya lebih beberapa poin.

Dalam kuliah fiqh mu’amalah misalnya, kajian dan pembahasan tentang ji’alah hanya mendapatkan porsi yang sangat sedikit, bahkan tidak sampai pada materi ini.

Walaupun demikian, pembahasan masalah ji’alah ini banyak disajikan dalam berbagai kitab fiqh, baik yang klasik maupun kontemporer. Pembahasan tentang ji’alah ini ternyata memiliki porsi yang seimbang dengan pembahasan akad mu’amalah yang lainnya.

Sekalipun memang, pembahasan akad ini sering kali ditempatkan di bagian akhir pembahasan.

Bahkan, dewasa ini akad ji’alah dijadikan sebagai salah satu prinsip operasional di beberapa lembaga keuangan syariah. Secara riil, lembaga keuangan syariah yang menerapkan akad ji’alah sebagai prinsip operasional adalah perbankan syariah.

Sekalipun memang, lagi-lagi, produk perbankan yang menggunakan prinsip akad ini kurang populer dan jarang dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Deskripsi tentang Ji’alah

Secara bahasa, ji’alah (pengupahan) berarti sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena ada sesuatu yang dikerjakan.

Sedangkan secara syari, ji’alah berarti hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui.

Sebagai ilustrasi misalnya, seseorang berkata, “Barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapatkan uang sekian.” Bagi orang yang membangun tembok itu, maka untuknya berhak atas hadiah (upah) yang disediakan.

Dalam konteks syari, ji’alah adalah sebuah permintaan dari seseorang agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan.

Misalnya, seseorang kehilangan mobil dan berkata, “Barang siapa yang menemukan dan mengembalikan mobilku, maka aku akan membayarnya sekian.” Dalam makna ini, maka ji’alah hampir mirip dengan pranata sayembara yang sudah biasa dilakukan di masyarakat.

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

Berkaitan dengan hukum ji’alah, Jumhur Ulama sepakat bahwa hukum ji’alah itu adalah mubah atau boleh. Keabsahan akad ji’alah ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran Surah Yusuf ayat 72:

قالوا نفقد صواع الملك ولمن جاء به حمل بعير وانا به زعيم

Penyeru-penyeru itu berkata, ‘Kami kehilangan piala raja dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat beban) unta, dan aku menjamin terhadapnya.”

Selain itu, Rasulullah Saw. juga membolehkan pengambilan upah atas pengobatan dengan mempergunakan Surah Al-Fatihah.

Tarikh Tasyri’ Akad Ju’alah

Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa sekelompok sahabat Nabi Saw. melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking.

Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ‘Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat me-ruqyah (menjampi)?

Para sahabat menjawab: Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.

Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan Surah Al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing.

Para sahabat berkata, Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi Saw.’ Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda, ‘Lho, kalian kok tahu bahwa Surah Al-Fatihah adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.” (HR. Bukhari).

Menurut Ibnu Qudamah,? masyarakat itu sangat memerlukan adanya jî’alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya.

Untuk pekerjaan seperti ini tidak bisa dilakukan melalui akad ijârah (sewa/pengupahan). Hal ini disebabkan belum jelasnya hasil yang akan dicapai oleh pencari-bisa berhasil dan bisa juga tidak.

Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka keberadaan ji’alah sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat, sekalipun bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam al-Nawawi bahwa hukum akad ji’alah itu adalah boleh, yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.

Jumhur ulama sependapat bahwa ji’alah itu boleh dilakukan oleh dua pihak, yakni pihak jâ’il (pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjan) dan pihak maj’ül lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama).

Ji’alah itu adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tentu.

Syarat Rukun Akad Ji’alah

Adapun Rukun ji’alah antara lain adalah: ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan ji’alah. Sighat (ijab gabul) objek. Mekanisme akad ji’alah ini dapat dibuatkan bagan sebagai berikut.

Keterangan

الجعل pekerjaan
الجاعل pekerja
المجعول له pemberi kerja
المجعل به upah
اليجاب sighat ijab kabul

Syarat-syarat Ju’alah

a. Pekerjaan yang diminta dikerjakan adalah mubah. Tidak sah transaksi ju’alah pada sesuatu yang tidak mubah, seperti khamar.
b. Upah dalam ju’alah berupa harta yang diketahui jenis dan ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi jualah.
c. Upah dalam ju’alah harus suci, dapat diserahkan, dan dimiliki oleh peminta jualah.
d. Pekerja menyelesaikan pekerjaan yang diminta dalam ju’alah dan menyerahkannya kepada yang menyuruhnya.

Aplikasi Akad Ji’alah/Ujr pada Perbankan Syariah

Berikut ini transaksi di perbankan syariah yang menggunakan akad ji’alah :

Produk/Jasa Akad
Kartu ATM Ujr/ju’alah
SMS Banking Ujr/ju’alah
Pembayaran Tagihan Ujr/ju’alah
Pembayaran Gaji Elektronik Ujr/ju’alah

Demikian pembahasan mengenai akad ji’alah beserta ketentuannya. Semoga bermanfaat.