Sunday , November 24 2024

Akad Istishna – Pengertian Dan Hukumnya Menurut Madzhab Empat

Akad Istishna – Pengertian Dan Hukumnya Menurut Madzhab Empat

Akad Istishna sebagai bentuk lain bay al-ma’dum yang dibenarkan oleh Islam kini telah digunakan oleh beberapa lembaga keuangan syariah sebagai instrumennya.

Istishna ini digunakan sebagai pelengkap akad salam yang sudah juga digunakan sebagai instrumen lembaga keuangan syariah.

Perbedaan di antara keduanya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad.

Barang yang dipesan dalam akad salam sesungguhnya telah jadi hanya belum bisa dihadirkan pada saat akad dan perlu dipesan terlebih dahulu kepada supplier.

Sedangkan dalam istishna”, barang yang dipesan itu sama sekali belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu oleh produsen (shani).

Namun demikian, di antara keduanya (salam dan istishna) memiliki kesamaan. Yakni dalam hal pesanan, di mana pembayaran didahulukan dan barang diserahkan kemudian.

Dalam perkembangannya, ternyata akad istishná” lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah daripada salam.

Hal ini disebabkan barang yang dipesan oleh nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.

Secara sosiologis, barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya.

Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istishná bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.

Persoalannya adalah, bagaimana ketentuan syariah yang mengatur tentang istishná ini? dan bagaimana bentuk implementasi istishná di lembaga-lembaga keuangan syariah?

Pembahasan di bawah ini akan diarahkan untuk menjawab persoalan pokok tersebut, di samping persoalan lain yang memiliki relevansi dengan masalah istishná.

Deskripsi Tentang Istishna

 

Secara bahasa, kata istishna diambil dari kata shana’a yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi istashna’ yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.

Secara terminologi, istisha’ akad di mana shani membuat sesuatu tertentu dalam perjanjian. Yaitu akan menjual sesuatu yang dibuat oleh shani’ dengan bahan dan pekerjaan berasal dari shani’.

Secara operasional, istishna’ merupakan kontrak penjualan antara mustashni’ (Pemesann) dan shani’ (pembuat).

Dalam kontrak ini shani menerima pesanan
dan mustashni untuk membuat barang (mashnu) menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada mustashril. Serta kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya.

Pengertian ini selaras dengan yang disampaikan oleh al-Kasani bahwa istishna ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak pertama dan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak kedua.

Agar pihak kedua membuatkan barang sesuai yang diinginkan oleh pihak pertama dengan harga yang disepakati di antara keduanya.

Pendapat Ulama Tentang Istishna’

 

Justifikasi istishna ini didasarkan atas qiyas karena istishna` merupakan bagian dari bay` al-ma’dum, seperti halnya salam.

Menurut Hanafiyyah, kebolehan istishna didasarkan pada metode istihsan. Karena manusia mengamalkan dan memahaminya di setiap masa dan tanpa ada yang mengingkarinya. Sehingga menjadi ijma di kalangan mereka tentang kebolehannya.

Kebolehan istishna ini meninggalkan qiyas, karena secara qiyas akad istishna dapat dikategorikan pada bay al-ma dum yang dilarang oleh Rasulullah Saw.

Namun demikian, persoalan status hukum istishna tidak terlepas dari perdebatan yang terjadi di kalangan fuqaha. Perdebatan di kalangan fuqaha tentang istishna dapat dipilah kepada tiga kelompok besar.

Baca juga : Pengertian Wakalah dan Ketentuannya

Akad istishna’ tidak sah

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum istishna itu termasuk pada akad ghayr al-shahîh, yakni akad bathil.

Pendapat ini dianut oleh Hanabillah dan sebagian Hanafiyyah. Kelompok ini berargumen dengan hadis bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

لا تبع ما ليس عندك

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, Tirmizy, Ibnu Majah, Daraquthni, dan Baihaqi)

Menurut mereka, pada akad istishna pihak kedua (shani) telah menjual barang yang belum dimilikinya kepada pihak pertama (mustashni’), tanpa mengindahkan persyaratan akad salam.

Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan transaksi dalam hadis di atas.

Akad istishna’ diperbolehkan

Pendapat kedua menyatakan bahwa istishna itu merupakan salah satu bagian dari akad salam. Sehingga hukum istishna itu menjadi boleh apabila telah memenuhi persyaratan akad salam.

Pendapat ini dianut oleh Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Oleh karena itu, dasar hukum yang digunakan untuk melegitimasi istishna digunakan dasar hukum keabsahan salam.

Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa istishna itu merupakan akad yang benar dan halal. Pendapat ini didukung oleh Hanafiyyah dan kebanyakan ulama kontemporer.

Pendapat ini berargumen karena istishna telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada satu pihak (ulama) yang pun mengingkarinya.

Mekanisme Operasional Istishna’

Terlepas dari perdebatan yang terjadi di kalangan fuqaha, keberadaan istishna telah memberikan satu alternatif bagi lembaga keuangan syariah dewasa ini untuk keluar dari jebakan bunga.

Mekanisme istishna berbeda dengan mekanisme bunga dalam tataran implementasinya. Secara operasional, mekanisme istishna ini dapat digambarkan sebagai berikut.

 

Ket:

مستصنع orang yang pesan
ثمن harga/bayar
صانع orang yang dipesan / pembuat
مصنوع barang yang dibuat/dipesan
الايجاب والقبول ijab qabul

Salah satu syarat yang paling penting pada akad istishna adalah pada bahan mentah (raw material) dari barang pesanan tersebut harus disediakan sendiri oleh pembuat (shani ).

Apabila bahan mentah berasal dari mustashni,
perjanjian ini tidak bisa disebut sebagai akad istishna tetapi menjadi akad ijarah.

Apabila barang pesanan tersebut sudah jadi, tetapi tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh mustashni. Maka mustashni boleh menolak untuk menerima barang tersebut dan shani harus menggantinya dengan barang yang sesuai yang telah ditentukan oleh mustashni sebelumnya.

Dalam bagian terakhir dari pembahasan tentang istishna adalah pembahasan tentang persamaan dan perbedaan antara istishna dengan salam.

Istisna memiliki kesamaan dengan akad salam dari segi jual beli tidak adanya barang pada saat akad berlangsung. Sehingga keduanya merupakan
kegian dari bay’ al-ma’dum.

Namun demikian, di antara keduanya memiliki perbedaan, yakni dari aspek keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad.

Barang yang dijadikan sebagai objek dalam salam sesungguhnya adalah jadi tetapi belum bisa dihadirkan pada saat akad dan perlu dipesan terlebih dahulu kepada supplier.

Sedangkan barang yang dijadikan sebagai objek
dalam istishna betul-betul belum ada perlu dibuatkan terlebih dahulu oleh produsen.

Dengan demikian, perbedaan keduanya dapat dikemukakan bahwa kalau salam lebih diartikan dengan “pesan pengadaan barang”, sedangkan istishna lebih diartikan dengan “pesan dibuatkan barang”.