Pengertian Transaksi Dalam Hukum Islam dan Negara

Pengertian Transaksi Dalam Hukum Islam dan Negara

Transaksi adalah salah satu cara untuk mendapatkan sesuatu yang seseorang inginkan dengan baik dan halal.

Dengan cara bertransaksi seperti jual beli, sewa menyewa dan lainnya akan menjadikan kepemilikan kita menjadi sah dan berkah.

Dalam agama Islam transaksi atau biasa disebut dengan akad memiliki rukun dan syarat-syarat yang harus terpenuhi agar apa yang ditransaksikan bisa menjadi sah dan menjadi hak penuh.

Tidak hanya di dalam agama Islam transaksi juga diatur dengan sedemikian rupa di dalam undang-undang Kitab undang-undang hukum perdata.

Negara dan agama mengatur semua ini bertujuan agar masyarakat Indonesia pada umumnya melakukan transaksi dengan benar. Sehingga tidak merugikan antara satu orang dengan orang yang lain satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Lalu bagaimana penjelasan mengenai transaksi dalam pandangan Islam dan kitab undang-undang hukum perdata? Simak selengkapnya penjelasan di bawah ini.

Pengertian Transaksi Menurut Ahli Ekonom

Transaksi adalah berasal dari bahasa Inggris “transaction” dan dalam bahasa Arab sering disebut sebagai al-mu’amalat. llmu fiqh yang mempelajari al-mu’amalat disebut fiqh al-mu’amalat.

Fiqh al-mu’amalat, dalam salah satu pengertiannya, mencakup bidang yang sangat luas, yaitu mencakup hukum tentang kontrak, sanksi, kejahatan, jaminan, dan hukum-hukum lain yang bertujuan mengatur hubungan-hubungan sesama manusia, baik perseorangan maupun kelompok.

Mustafa Ahmad Al-Zarqa

Pengertian fiqh al-mu’amalat yang lebih sempit dikemukakan oleh Mustafa Ahmad Al-Zarqa, yaitu hukum tentang perbuatan dan hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak-hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut.

Mohammad Ma’sum Billah

Pengertian yang lebih teknis dikemukakan Mohammad Ma’sum Billah, yaitu bentuk kesepakatan menguntungkan yang terjadi antara manusia untuk memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan perdagangan dan perniagaan.

Dari berbagai keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa fiqh al-mu’amalat adalah bidang fiqh yang memfokuskan pada hukum-hukum tentang perbuatan dan hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan syariah.

Sunarto Zulkifli

Menurut Sunarto Zulkifli (2003: 10), pengertian transaksi adalah peristiwa ekonomi / keuangan yang melibatkan dua pihak atau lebih bertukar satu sama lain, terlibat dalam kepercayaan bisnis, pinjaman dan pinjaman atas dasar yang sama atau sama-sama atas dasar ketentuan hukum.

Slamet Wiyono

Menurut Slamet Wiyono (2005: 12), transaksi adalah peristiwa ekonomi / keuangan, yang melibatkan setidaknya dua pihak di mana kedua belah pihak bertukar satu sama lain, terlibat dalam bisnis kepercayaan, meminjam dan meminjamkan, sewa menyewa, jual beli dan lainnya berdasarkan keinginan masing-masing atau di atas ketentuan hukum dasar.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Transaksi adalah persetujuan yang dibangun oleh penjual dan pembeli (dalam perdagangan).

Pengertian Transaksi Menurut Undang-undang

Pasal 1458 KUHPerdata ditemukan pengertian bahwa jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap penerimaan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan penerimaan, baik yang dilakukan secara lisan maupun yang dibuat dalam bentuk tertulis menunjukkan saat lahirnya perjanjian.

Dalam Hukum Islam Transaksi Adalah

Transaksi adalah hal yang sangat esensial dalam hukum perdagangan seperti dalam jual beli, sewa-menyewa dan tukar menukar.

Transaksi atau akad (Arab: Al-‘Aqdu ( العقد ) secara bahasa berarti “al-rabth” atau ikatan yang menggabungkan antara 2 (dua) pihak .

Sedangkan menurut pandangan ulama fiqh, akad adalah

ارتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع ينبت اثره فى محله

Artinya : transaksi adalah ikatan antara ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan) dalam bentuk (yang sesuai dengan) syari’ah, yang membawa pengaruh pada tempatnya.

Hasbi As-Shiddieqy

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, transaksi adalah perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan kedua belah pihak.

Ijab adalah permulaan pernyataan yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang berakad untuk memperlihatkan kehendaknya untuk berakad, qabul adalah jawaban dari pihak yang lain sesudah adanya ijab, untuk menyatakan persetujuan.

Abdoerroef

Abdoerroef menyatakan terjadinya perikatan (al-‘aqdu) yaitu sebagai berikut:

1. Al-Ahdu (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang mengatakannya untuk melaksanakan janji tersebut, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam QS. Ali Imran : 76

2. Persetujuan yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah apa yang dinamakan al-‘aqdu oleh Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al-Maidah

Maka yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau al-‘ahdu itu, tetapi al-‘aqdu.

Akad atau transaksi merupakan bagian tasharruf, yaitu usaha atau aktivitas manusia dengan kemauannya; dan syara’ mengatur hak-haknya.

Tasharruf terbagi menjadi 2 (dua) :

  1. Tasharruf fi’li yaitu usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan fisiknya, seperti memanfaatkan lahan yang tandus, mengadakan transaksi jual beli dan berdagang.
  2. Tasharruf qauli yaitu pernyataan atau ucapan yang keluar dari tubuh manusia. Tasharruf qauli terbagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
  • Tasharruf qauli aqdi, artinya pernyataan yang diucapkan oleh kedua belah pihak yang saling berhubungan, seperti jual beli, sewa menyewa dan syirkah (perkongsian);
  • Tasharruf qauli ghairu aqdi yaitu pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak, seperti waqaf, talak dan memerdekakan budak, atau tidak menyatakan suatu kehendak tetapi ia menyatakan tuntutan hak, seperti gugatan, ikrar dan sumpah untuk menolak gugatan.

Rukun dan Syarat-syarat Dalam Transaksi (Akad)

Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut syari’ah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu.

Secara bahasa, rukun berarti sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan dan syarat berarti ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.

Menurut Ulama Ushul fiqh, rukun mempunyai pengertian yaitu sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri.

Sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri.

Selanjutnya, menurut jumhur ulama, rukun akad adalah sebagai berikut:

  1. Al-‘Aqidain, para pihak yang melakukan transaksi, misal penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
  2. Mahallul ‘Aqd, adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
  3. Sighat al-‘Aqd, kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (qabul).

Selain ketiga hal tersebut diatas, Mustafa Az-Zarqa menambahkan Maudhu’ al-‘Aqd (tujuan akad) dan menyebut keempat hal tersebut dengan maqawwimat ‘aqd (unsur penegak akad) bukan rukun.

Akan tetapi, menurut madzhab Hanafi, hanya sighat al-’aqd (ijab qabul) yang menjadi rukun akad, sementara al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd sudah diluar esensi akad, sehingga bukan merupakan rukun akad melainkan syarat akad.

Berikut uraian tentang unsur-unsur akad:

1. Al-‘Aqidain (Subyek Perikatan)

Yaitu para pihak yang melakukan akad (transaksi). Al-‘Aqidain dapat juga disebut subyek hukum karena merupakan pihak pengemban hak dan kewajiban.

Subyek hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Manusia yaitu pihak yang sudah dapat dibebani hukum (mukallaf). Mukallaf berasal dari bahasa arab yang artinya “yang dibebani hukum” yaitu orang-orang yang dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dihadapan Allah SWT baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-Nya atau orang-orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan tuhan maupun kehidupan sosialnya.

b. Badan hukum yaitu badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain/badan lain.

Syarat subyek akad adalah sebagai berikut:
1. Aqil (berakal) yaitu orang yang bertransaksi haruslah berakal sehat, bukan orang gila, terganggu akalnya, ataupun kurang akalnya karena masih dibawah umur.
2. Tamyiz (dapat membedakan) yaitu orang yang bertransaksi haruslah dalam keadaan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, sebagai tanda kesadarannya sewaktu bertransaksi.
3. Mukhtar (bebas dari paksaan), berdasarkan oleh ketentuan QS. An-Nisa (4):29 dan hadits Nabi SAW yang mengemukakan prinsip An-Taradhin (rela sama rela) yaitu para pihak harus bebas dalam bertransaksi, lepas dari paksaan dan tekanan.
Sedangkan syarat mukallaf sendiri yaitu baligh dan berakal, selain itu dalam kaitannya dengan al-‘aqidain terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan) dan wakalah (perwakilan).

2. Mahallul ‘Aqd (Obyek Perikatan)

Yaitu sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan kepadanya akibat hukum yang ditimbulkan.

Obyek akad (mahallul ‘aqd) dapat berupa benda berwujud, seperti mobil dan rumah, maupun benda yang tidak berwujud seperti manfaat.

Barang yang menjadi obyek transaksi adalah tertentu, baik jenis, sifat maupun jumlahnya. Bahkan barang tersebut tidak boleh ada keraguan mengenai hukumnya tentang haran dan bukan riba.

Keraguan ini dapat dihindari dari suatu barang apabila diketahui wujudnya, sifat dan dapat diserahkan, jelas mengenai barang dan jasa yang tidak tunai.

Menurut hukum Islam, obyek transaksi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Obyek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.

Karena memperjualbelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya tidak sah, kecuali untuk akad-akad tertentu seperti ‘aqd salam (indent), istishna (pesanan barang) dan musyaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya).

b. Obyek perikatan dibenarkan oleh syari’ah.
Maksudnya benda-benda yang menjadi obyek perikatan harus memiliki nilai dan manfaat.

c. Obyek akad harus jelas dan dikenali.
Tujuannya agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa.

d. Obyek dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak sanggup diserahkan; atau fiktif.

e. Obyek akad harus mal mutaqawwimat.

3. Maudhu’ al-‘Aqd (tujuan perikatan)

Yang dimaksud maudhu’ al-‘aqd adalah tujuan dan hukum yang mana suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tertentu.

Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut, bila tidak sesuai maka hukumnya tidak sah.

Adapun tujuan akad (transaksi) ialah:

1. tamlik seperti jual beli
2. perkongsian atau kerjasama, seperti syirkah dan mudharabah.
3. tautsiq, yakni memperkokoh kepercayaan seperti rahn (gadai) dan kafalah.
4. menyerahkan atau mewakilkan kekuasaan seperti wakalah dan wasiat.
5. mengadakan pemeliharaan seperti wadi’ah (titipan)

Syarat agar akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum yaitu:

1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2. Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad
3. Tujuan akad harus dibenarkan syara’

4. Sighat al-‘Aqd

Yaitu suatu ungkapan dari para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab berarti pernyataan atau ucapan ungkapan niatan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang berisi niatan secara pasti dan jelas untuk mengikat diri.

Pihak yang melakukan ijab disebut mujib. Pihak kedua yang menyatakan persetujuannya atau menerima untuk mengadakan perikatan disebut qabil, sedangkan pernyataan diterima disebut qabul.

Fiqh muamalah menetapkan sejumlah persyaratan umum yang harus terpenuhi dalam setiap sighat akad adalah sebagai berikut:

a. Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.

b. Tawafuq/Tathabuq bainal ijab wal qabul, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.

c. Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa.

d. Ittishal al-qabul bil ijab yaitu kedua pihak dapat hadir dalam satu majlis.

Cara Ijab Qabul

Ijab qabul dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu sebagai berikut :

1. Lisan

Para pihak mengungkapan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas.

2. Tulisan

Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit.

Seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang memerlukan alat bukti dan tanggung jawab terhadap orang-orang yang bergabung dalam badan hukum tersebut.

Dalam transaksi jual beli online di marketplace menggunakan tulisan sebagai cara ijab qabul. Dimana orang yang sudah sepakat dengan barang-barang yang ditawarkan oleh penjual kemudian dibayar lewat pihak ketiga sebagai perantara.

3. Isyarat

Berlaku khusus terhadap orang yang tidak dapat berbicara (tuna wicara) dan tidak dapat pula menulis.

Dalam kondisi ini, isyarat telah menjadi kebiasaan mereka, sehingga orang-orang dekat dapat memahami secara jelas kehendaknya sekalipun disampaikan melalui isyarat.

4. Perbuatan

Cara ini ada seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima).

Adanya perbuatan memberi dan menerima dari pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya.

Hal ini sering terjadi pada proses jual beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis telah tercantumkan pada barang tersebut.

Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa diantara mereka akan melakukan perikatan jual beli.

Syarat Umum Transaksi

Sedangkan syarat-syarat akad secara umum adalah sebagai berikut:

1. Ijab dan qabul haruslah dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan berbuat. Dalam hal ini orang tersebut harus waras, cukup umur dan tidak boros.

2. Ijab qabul harus tertuju kepada obyek tertentu. Misal, sewa menyewa, jual beli, pesanan dll.

3. Akad tidak dilarang oleh nash syara’. Seperti tidak mengandung maisir, gharar dan riba.

4. Memenuhi syarat-syarat khusus bagi akad tertentu.

5. Akad (transaksi) itu bermanfaat.

6. Ijab harus tetap shahih sampai saat dilakukan qabul. Artinya tidak sah akad jika sebelum qabul telah terjadi pembatalan ijab, atau pelaku ijab telah gila atau meninggal dunia.

7. Ijab qabul dilakukan dalam 1(satu) majlis, yakni dengan tatap muka atau qabul tunda. Akan tetapi, menurut mazhab syafi’i, qabul harus segera diucapkan setelah akad dan tidak boleh ditunda-tunda.

8. Tujuan akad harus jelas dan diakui oleh syara’.
Ulama Fiqh menetapkan bahwa akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad.

Setiap manusia mempunyai kebebasan untuk mengikatkan diri pada suatu akad dan wajib memenuhi segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad tersebut.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah(5): yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …”

Dalam hal kebebasan para pihak yang melakukan suatu akad dalam menentukan syarat-syarat, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama fiqh.

Ulama madzhab Hanbali dan madzhab Maliki mengemukakan kebebasan dalam menentukan syarat dalam suatu akad tersebut ada yang bersifat mutlak, tanpa batas, selama tidak ada larangan dalam Al-Qur’an.

Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i, sekalipun pihak-pihak yang berakad memiliki kebebasan untuk menentukan syarat. Kebebasan itu tetap mempunyai batas (terbatas).

Yaitu selama syarat itu tidak bertentangan dengan kehendak syara’ dan tidak bertentangan dengan hakikat akad itu sendiri.

Syarat Transaksi Menurut Undang-undang

Pasal 1325 KUHPerdata Paksaan mengakibatkan batalnya suatu perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun kebawah.

Pasal 1335 KUHPerdata Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab  yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan

Pasal 1336 KUHPerdata Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.

Pasal 1337 KUHPerdata suatu sebab adalah terlarang , apabila dilarang oleh undang – undang, atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Transaksi dalam Dunia Perbankan

Sebenarnya kata “transaksi” tidak hanya meliputi seputar perdagangan. Lebih luas dari itu. Transaksi (akad) bisa diterapkan pada pernikahan dan kegiatan non dagang.

Dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah transaksi untuk perbankan konvensional. Dan akad untuk perbankan syariah. Banyak sekali transaksi yang dapat dilakukan saat kamu berada di kantor bank maupun saat menggunakan online banking.

Saat kamu sedang berada dalam layanan online banking maupun di kantor bank. Umumnya bank akan memberikan layanan transfer, pembayaran, pembelian, mutasi rekening, saldo dan informasi nilai tukar.

Sedangkan saat dalam layanan bank syariah layanan akad yang akan kamu dapat seputar mudharabah, musyarakah, qardh, kafalah, wakalah dan seterusnya.

Kita sebagai warga negara Indonesia sekaligus menjadi seorang muslim harus memenuhi aturan-aturan yang disampaikan oleh negara dan agama Islam.

Sehingga ketika kita bermuamalat, bertransaksi kepada seseorang tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan juga tidak melanggar syariat Islam.