Ijma: Memahami Konsensus dalam Fiqh Islam Indonesia

Pengertian Ijma

1. Secara etimologi

ijma’ (الإجماع) berarti “kesepakatan” atau consensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat Yusuf ayat 15, yaitu:

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ

Artinya:

Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukannya kedasar sumur.

2. Secara terminologi

Ijma’ adalah kesepakatan seluruh dari kaum muslimin pada suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.

Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan.

ijma al itrah adalah

Syarat-syarat Ijma

Dari definisi ijma’ di atas dapat disimpulkan beberapa persyaratan ijma’. Syarat-syarat terjadinya ijma’ adalah sebagai berikut:

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid

Para ulama berbeda pendapat tentang istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara’.

Dalam kitab jam’li al-wajam’I disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid orang yang faqih. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa mujtahid itu ahlul halli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al wahid dalam kitab al-isbat. Bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlul halli wa aqdi. Kedua pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistinbath hukum dari sumbernya.

Dengan demikian, kesepakatan orang awam (umum) yang belum mencapai derajat mujtahid tidak dapat dikatakan ijma’. Begitu pula penolakan mereka.

2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

Apabila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit maka menurut jumhur ulama hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma; itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan. Sebagian ulama lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskiupun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.

3. Para mujtahid harus umat Muhammad

Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad adalah orang-orang mukallah dari golongan Ahl-halli wal aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim, berakal dan telah baligh.

Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad tidak dapat dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat Nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.

4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi

Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad masih hidup, karena Nabi Muhammad senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariat.

5. Kesepatakan mereka harus berhubungan dengan syariat

Maksudnya kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariatnya seperti tentnag wajib, sunah, makruh, haram dll.

Hal itu sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada maslah-masalah agama juga sesuai dengan pendapat al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Syafi’udin dalam Qawaidu Ushul, Kamal bin Hamam dalam kitab Tahriri dan lain-lain.

Pembagian Ijma’ ditinjau dari Segi Macam-macamnya

Ditinjau dari segi macam-macamnya, ijma’ dapat dibagi menjadi enam macam, yaitu :

1. Ijma’ Ahl Al-Madinah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik RA. Menurutnya, ijma’ ahl al-Madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh kalangan sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah. Apabila kesepakatan yang dilakukan setelah lewat masa dua generasi tersebut, maka ia tidak lagi disebut ijma’ yang menjadi hujjah. Akan tetapi, para ulama mazhab Maliki berbeda pendapat apa yang dimaksud dengan kehujjahan ijma’ ahl al-Madinah. Dalam hal ini, pendapat mereka terbagi dua, yaitu :

a) Yang dimaksud ialah, informasi hukum yang disampaikan masyarakat Madinah lebih kuat dan akurat dibandingkan dengan informasi hukum yang diberikan kepada ulama luar Madinah. Sebab, mereka paling dekat dengan kehidupan Rasulullah SAW, sehingga paling mengetahui apa yang diajarkan beliau.

b) Yang dimaksud ialah, ijma’ mengenai hal-hal yang berkaitan kebiasaan adat istiadat yang merata yang berkaitan dengan hukum tertentu, di mana tingkat keberlakuannya sangat populer di kalngan masyarakat Madinah. Misalnya, mengenai kalimat-kalimat dan tatacara adzan dan iqamah, dan tentang jumlah takaran yang disebut dengan sha’ (gantang) dan mudd (pon).

Dengan demikian, yang dimaksud ijma’ ahl al-Madinah adalah kesepakatan dalam bidang hukum yang cara penetapannya terdiri atas dua cara :

1) Melalui cara periwayatan.

2) Melalui cara ijtihad.

2. Ijma’ Ahl Haramain (Kesepakatan Masyarakat Makkah dan Madinah)

Sebagian ulama ushul berpendapat, kesepakatan masyarakat dari kedua wilayah Makkah dan Madinah merupakan hujjah. Pendapat ini berasal dari keyakinan bahwa ijma’ terbentuk hanya pada masa sahabat, sementara Makkah dan Madinah adalah dua wilayah yang banyak didiami para sahabat, maka kesepakatan yang lahir dari kedua wilayah tersebut tentu juga menjadi hujjah.

3. Ijma’Ahl Al-Mishrain (Kesepakatan Masyarakat Dua Kota “Basrah dan Kufah”)

Sama dengan ijma’ ahl haramain, mereka yang berpendapat bahwa ijma’ ahl al-Mishrain juga merupakan hujjah, mengemukakan alasan bahwa kedua kota ini merupakan konsentrasi domisili para sahabat Rasulullah SAW, sedangkan ijma’ hanya dapat terbentuk khusus pada masa sahabat saja. Akan tetapi, alasan terakhir ini dapat dibantah oleh kenyataan bahwa para sahabat tidak hanya bermukim di Makkah dan Madinah, atau di Basrah dan Kuffah saja, melainkan juga di wilayah-wilayah lainnya, seperti di Irak, Yaman, dan Syam (Syria).

Demikian juga pendapat yang menyatakan bahwa ijma’ secara khusus hanya terjadi pada masa sahabat, dapat dibantah dengan mengatakan, tidak cukup alasan untuk membatasi ijma hanya pada masa sahabat. Sebagaimana telah dikemukakan, ijma’ dapat terjadi kapan saja pada setiap masa, asalkan terpenuhi unsur-unsurnya.

4. Ijma’ Asy-Syaikhan / Ijma Al-Khalifatain (Kesepakatan Dua Khalifah “Abu Bakar dan Umar”)

Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama, berdasarkan hadis Nabi SAW :

عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ.

Artinya:

Dari Huzaifah R.A, bahwa Nabi SAW bersabda: “Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku ; Abu Bakr dan Umar”.

5. Ijma’ Al-Khulafa Al-Arba’ah / Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin (Kesepakatan Khalifah yang Empat)

Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah yang bernama Al-Qadhi Abi Hazim, dan menurut satu riwayat, juga oleh Ahmad bin Hanbal. Mereka berpendapat, berbeda dengan sahabat lainnya, kesepakatan di antara khalifah yang empat ; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali, merupakan hujjah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, riwayat Irbaq bin Sariyah.

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ والطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيّاً فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلاَفًا كَثِيْراً فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيل وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَعَضُّوا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِذِ وَ إِيَّكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ.

Saya berwasiat kepada kamu untuk tetap bertakwa kepada Allah, peduli dan patuh (kepada pimpinan) walaupun (pemimpin itu) berasal dari hamba berkulit hitam. Sesungguhnya, barang siapa di antara kamu yang masih hidup setelah wafat, melihat perselisihan yang hebat, maka kamu wajib berpegang kepada sunnuahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mengikuti petunjuk, dan gigitlah ia dengan gerahammu (berpegang teguhlah padanya). Waspadailah hal-hal yang diada-adakan, sesungguhnya semua yang diada-adakan adalah bid’ah, dan sungguh setiap bid’ah adalah kesesatan”.

Sebagaimana pendapat yang menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat Haramain dan Mishrain adalah hujjah dapat dibantah, maka dua pendapat yang terakhir di atas juga dapat dibantah sebagai berikut.

Hadis Nabi SAW di atas menegaskan bahwa Al-Khulafa Ar-Rasyidin adalah para sahabat yang cakap dan ahli dalam memimpin umat. Oleh karena itu, kepemimpinan mereka wajib diikuti dan dipatuhi. Akan tetapi, hal itu tidak bararti bahwa ucapan-ucapan mereka suci (ma’shum), sehingga  menjadi hujjah.

6. Ijma’ Al-Itrah (Kesepakatan Ahl Al-Bayt / Keluarga Nabi SAW)

Pendapat ini dikemukakan oleh golongan syi’ah Al-Imamiyyah dan Az-Zaidiyyah. Mereka mengatakan, kesepakatan keluarga Nabi SAW (Ali, Fatimah, dan kedua anak mereka; Hasan dan Husain) merupakan hujjah.

إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً (الأحزاب :33)

Artinya:

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait  dan Membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

 

Menurut mereka, ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT membersihkan dosa dari ahl al-bayt dengan menggunakan kata innama. Dalam bahasa arab, kata ini menunjuk pengertian penguatan dan pembatasan (‘adat al-qashr). Karena ahl al-bayt telah dibersihkan dari dosa, maka mereka menjadi ma’shum, dan karena itu pula maka ijma’ mereka menjadi hujjah.

Bahwa golongan Syi’ah berpendapat, yang dimaksud dengan ahl al-bayt adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, berdasarkan sabda Rasulullah SAW ketika turunnya ayat tersebut.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَّلَ عَلَى الْحَسَنِ واْلحُسَيْنِ وَعَلِيِّ وَفَاطِمَةَ كِسَاءً ثُمَّ قَالَ اللهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِيْ وَخَاصَّتِي أَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْراً.

Artinya:

Dari Ummi Salamah, bahwa Nabi SAW merangkul dan menyelimuti Hasan, Husain, Ali dan Fatimah, kemudian berkata : “Ya Allah, mereka ini ahli baytku dan kesayanganku, hilanglah kotoran (dosa) dri mereka, dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya”.

Selain itu Al-Qur’an surat Asy-Syura (42): 23 menyebutkan :

قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى (الشورى : 23)

Artinya:

Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”.

Kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah menolak argumentasi dan pendapat mereka dengan mengatakan, ayat 33 di atas ditunjukkan kepada para istri Rasulullah SAW secara keseluruhan bukan kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain saja. Maksud ayat tersebut membebaskan mereka dari tuduhan berita bohong  dan melarang mereka bersikap yang memancing orang jahat untuk berbuat jahat. Hal ini terlihat dari konteks ayat, di mana pangkal ayat 33 berbunyi :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ (الأحزاب :33)

Dan hendaklah kamu tetap di rumah dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlan shalat, tunaikanlah zakatdan taatilah Allah dan Rasulnya.  (Qs. Al-Ahzab: 33)

Sedangkan ayat sebelumnya (Al-Ahzab: 32) berbunyi :

يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَالَّذِيفِي قَلْبِهِمَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً)الأحزاب : 32)

Artinya:

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain. Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu tunduk dalm berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

Sedangkan terhadap argumen syi’ah mengenai ayat 23 surah asy-syura’, Ahlu Sunnah mengatakan, masalh kekeluargaan sangat berbeda dengan masalah ijtihad, karena keduanya dua variabel yang berbeda. Adapun mengenai “adat al-qashr innama”, fungsinya bukan untuk membatasi yang dimaksud hanya pada keempat orang tersebut, tetapi untuk menegaskan pembersihan ahl al-bayt secara keseluruhan dari tuduhan bohong dan kejahatan.