Macam-Macam Riba

Macam-Macam Riba

Macam-macam riba – praktik transaksi yang mengandung riba memang sudah terbukti sangat meresahkan dan memberatkan masyarakat.

Biasanya praktek riba yang melilit masyarakat terjadi pada masyarakat dengan penghasilan ekonomi rendah. Pinjaman yang seharusnya membantu malah mencekik. Sehingga semakin lama jangka waktu tempo hutang semakin melilit yang bersangkutan.

Dari sinilah salah satu alasan mengapa riba dilarang oleh Allah. Sudah ada banyak sekali dalil-dalil larangan riba baik dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Lalu Bagaimanakah konsep ribawi yang berjalan di tengah-tengah masyarakat kita? Secara garis besar konsep riba terdapat dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.

Selengkapnya silakan simak penjelasan berikut ini :

Macam-Macam Riba

Sebagaimana definisi riba, macam-macam riba pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa riba terdapat dalam dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya.

Riba dalam jual beli menurutnya ada dua macam: nasi’ah (riba dengan penundaan pembayaran) dan tafadul (riba dengan pelebihan pembayaran).

Sedangkan riba pada jual beli tanggungan juga terbagi dua kategori, salah satunya adalah riba jahiliyah yang telah disepakati para ulama tentang keharamannya.

Demikian pula Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary membagi riba kedalam riba fadl, riba nasa dan riba yad.

Namun demikian, para jumhur ulama fikih membagi riba dalam dua kategori: Riba nasi’ah dan riba fadl. Pandangan yang sama juga dikemukakan al-Jaziri.

Menurut Syaikh al-Maraghi bahwa secara global ada dua macam riba :

Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah yaitu jenis riba yang terkenal di masa jahiliyyah dan biasa dilakukan oleh mereka. Riba ini menangguhkan masa pembayaran dengan tambahan keuntungan.

Riba nasiah adalah riba yang terjadi karena penundaan pembayaran hutang, suatu jenis riba yang diharamkan karena keharaman jenisnya atau keadaannya sendiri.

Jadi manakala masa pembayaran ditangguhkan, maka makin bertambahlah jumlah utangnya, sehingga dari seratus dirham bisa menjadi seribu dirham.

Dan pada umumnya orang yang berani berbuat demikian biasanya orang tak mampu yang terdesak kebutuhan. la memberikan tambahan untuk mengelakkan diri dari pembayarannya, dan keadaan seperti ini terus berlangsung atas dirinya hingga utangnya menggunung dan dapat meludeskan seluruh kekayaannya.

Harta kian bertambah di tangan orang yang membutuhkan tanpa ada manfaat yang dihasilkan darinya, dan harta orang yang melakukan riba makin bertambah tanpa ada manfaat yang bisa dipetik oleh saudaranya yang berutang padanya.

Dengan demikian ia memaksa harta orang lain dengan cara bathil, dan menjerumuskan orang lain ke dalam kesengsaraan dan kemelaratan.

Merupakan rahmat Allah, kebijaksanaan dan kebajikan-Nya terhadap makhluk, Allah mengharamkan riba dan melaknat pemakannya, wakilnya, penulisnya dan saksinya.

Kemudian memberikan peringatan kepada orang yang tidak mau meninggalkannya, bahwa mereka diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Ancaman seperti ini belum pernah ada dalam dosa besar, oleh karenanya riba dikatagorikan dosa besar yang terbesar.

Definisi Riba Nasiah Menurut Para Ulama

Definisi riba al-nasi’ah menurut Wahbah al-Zuhaily adalah

فضل الحلول على الأجل ووفضل العين على الدين فى المكيلين اوالموزونين عند اختلاف الجنس اوفى غيرالمكيلين اوالموزونين عنداتحاد الجنس

Artinya: “Penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan waktu pembayaran atau penambahan ‘ain (barang kontan) atas dain (harga utang)” terhadap barang berbeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang”.

Menurut Abdurrahman al-Jaziri:

وهو ان تكون الزيادة فلى مقابلة تأخير الدفع

Artinya: “Riba al-nasi’ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut) sebagai imbangan atas penundaan pembayaran”.

Selanjutnya al-Jaziri memberi contoh, jika seseorang menjual satu kuintal gandum yang diserahkan pada musim kemarau dengan satu setengah kuintal gandum yang ditangguhkan pembayarannya pada musim hujan.

Di mana tambahan harga setengah kuintal tersebut dipungut tanpa imbangan mabi’ (obyek jual beli), melainkan semata-mata sebagai imbangan dari penundaan waktu pembayaran, maka yang demikian ini adalah praktek riba al-nasi’ah.

Jual beli barang sejenis secara tidak kontan seperti pada contoh di atas sekalipun tidak disertai penambahan pembayaran menurut Wahbah az-Zuhaily tergolong riba Nasi’ah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam (kasus) riba nasi’ah.

Pertama, penambahan dari harga pokok sebagai kompensasi penundaan waktu pembayaran.

Kedua, penundaan penyerahan salah satu dari barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang sejenis.

Riba Fadl

Riba Fadl, seperti misalnya seseorang yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi timbangannya. Dan sebagai barternya uang dinar (uang emas).

Atau seseorang menjual sekilo kurma yang baik dengan sekilo dan setumpuk kurma jelek. Sekalipun kedua pihak saling merelakan lantaran kedua pihak saling membutuhkan barang tersebut.

Riba jenis ini tidak termasuk dilarang oleh Al-Qur’an. Hanya saja pelarangannya datang (ditetapkan) oleh sunnah rasul.

Sedangkan riba fadl adalah riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis.

Adapun riba al-fadhl adalah penambahan pada salah satu dari benda yang dipertukarkan dalam jual-beli benda ribawi yang sejenis, bukan karena faktor penundaan pembayaran.

Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta benda sebagai harta-benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam nash Hadis.

Ketujuh harta benda tersebut adalah:

(1) emas,

(2) perak,

(3) burr, jenis gendum,

(4) syair, jenis gandum,

(5) kurma,

(6) zabib, anggur kering, dan

(7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha berselisih pandangan