Riba – Pengertian Dan Dalil-dalilnya

Riba – Pengertian Dan Dalil-dalilnya

Riba – pengertian dan dalil-dalilnya – konsep ribawi telah mengakar di kalangan masyarakat kita. Dengan banyaknya praktik-praktik pinjaman yang melilit peminjam. Seperti katakanlah “bank tongol”. Yang tiap hari nongol untuk menarik dana pinjaman kepada nasabah.

Disamping “nongol tiap hari”. Bunga yang ditetapkannya tidak realistis. Sehingga konsep ribawi benar-benar terasa.

Pengertian Riba

Secara etimologi, kata riba berasal dari bahasa Arab, dan dalam Kamus al-Munawwir diartikan bunga uang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga uang, rente.

Dalam bahasa Belanda disebut “woeker”, dan dalam bahasa Inggris disebut ” usury” . Secara bahasa menurut Abu Bakar al-Jazairi dalam kitabnya Minhaj al-Muslim, riba ialah tambahan uang pada sesuatu yang khusus.

Demikian pula menurut Abdurrahman al-Jaziri bahwa menurut bahasa, riba bermakna “al-ziyadah” (الزّيادة ) yang berarti “tambahan”.

Pengertian riba menurut Ulama

Sedangkan menurut al-San’any bahwa riba dengan kasrah huruf “ra” dari kata “raba” – “yarbu”. Dikatakan juga “ar-rima’u”, semakna dengan riba itu dan disebut juga “ar-rubyah” dengan dommah huruf “ra”-nya yang berarti tambahan/kelebihan.

Menurut Afzalur Rahman bahwa kata “riba” dalam bahasa Arab, sebagian telah dicakup kata “usury” dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa modern berarti bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan.

Sebaliknya, riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi dari modal pokok yang dipinjamkan, dan yang demikian itu keduanya termasuk riba dan bunga.

Sedangkan menurut Abdullah Saeed bahwa dalam al-Qur’an term riba dapat dipahami dalam delapan macam arti, yaitu pertumbuhan (growing). peningkatan (increasing). bertambah (swelling). meningkat (rising), menjadi besar (being big), dan besar (great), serta digunakan juga dalam pengertian bukit kecil (hillock).

Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna, namun dapat diambil satu pengertian umum, yaitu meningkat (increase, baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.

Menurut terminologi, kata riba dirumuskan secara berbeda-beda sesuai dengan titik berat pendekatan masing-masing. Hal ini tidak berbeda dengan definisi hukum dalam ilmu hukum Barat pun tidak ada kesepakatan para ahli tentang apa itu hukum?

Kurang lebih 200 tahun yang lalu Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).

Demikian pula definisi riba menurut syara masih menjadi perselisihan para ahli fikih, sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab penetapan haramnya.

Pengertian riba menurut ahli

Meskipun demikian, sebagai pegangan, definisi sangat penting diungkapkan meskipun tidak seluruhnya tapi satu atau dua pun masih lebih baik daripada tidak, di antaranya:

  1. Menurut Maulana Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas pokok yang dipinjamkan.
  2. Menurut Fuad Moh. Fachruddin, riba adalah satu tambahan yang diharamkan di dalam urusan pinjam meminjam.
  3. Menurut Ahmad Sukarja, riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak. Yang melakukan muamalah utang piutang atau tukar menukar barang.
  4. Menurut Sayyid Sabiq, riba adalah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan tanpa ada ganti atau imbalan.

Dalil-dalil Larangannya

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan), seperti terdapat dalam ayat berikut ini:

فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاء اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنبَتَتْ مِن كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج:٥)

Artinya: kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj: 5).

أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ (النحل :٩٢)

Artinya: disebabkan adanya suatu ummat (Islam) yang bertambah banyak jumlahnya dari ummat yang lain. (Q.S. al-Nahl: 92).

Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Pernyataan al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة: ٢٧٥)

Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.

Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba… (al-Baqarah: 275).

Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan.

Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ (البقرة: ٢٧٨)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah: 278).

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (البقرة: ٢٧٩)

Artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. (Q.S. al-Baqarah: 279)

Sebab diharamkannya

Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian diharamkan? Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba. Yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah.

Sedang illat pengharaman riba dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak berbuat dzulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya.

Jadi tampaklah bahwasanya illat pengharaman dalam surat al-Baqarah adalah dzulm (eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya).

Keempat ayat dalam surat al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului 14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat.

Antara lain dinyatakan bahwa Allah akan mengganti dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih banyak lagi. Bahwa sesungguhnya setan selalu menakuti dengan kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba).

Selain itu, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharam riba diakhiri dengan ayat 280 berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi hutang.

Pernyataan al-Qur’an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam surat Ali Imran (3:130).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (آل عمران: ١٣٠)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran:130).

Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolok ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa.

Dalil dari Sunnah

Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ (رواه مسلم)

Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba”. Kemudian beliau bersabda: “mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim).

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِيُّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ (رواه مسلم)

Artinya: Telah mengabarkan Abu Bakri bin Abi Syaibah kepada kami dari Waqi’ dari Ismail bin Muslim al-‘Abdi dari Abu al-Mutawakkil al-Naji dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:

(jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum. korma dengan korma. garam dengan garam itu dalam jumlah yang sama dan tunai serta diserahkan seketika. Dan barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, termasuk riba. Yang menerima dan yang memberi, dalam hal ini sama dosanya. (H.R. Muslim).

حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ بِالذَّهَبِ إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَأَمَرَنَا أَنْ نَبْتَاعَ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ كَيْفَ شِئْنَا وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْنَا

Artinya: Telah mengabarkan ‘Imran bin Maisyaroh kepada kami dari ‘Abad bin al-‘Awam dari Yahya bin Abu Ishaq dari Abdur Rahman bin Abu Bakrah dari Bapaknya ra. Rasulullah SAW. melarang menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya emas dengan emas dan membolehkan kita menjual emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai kehendak kita. (H.R. al-Bukhary).

Benang Merah Diharamkannya Riba

Secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Menurut Ahmad Rofiq, “riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging”.

M. Umer Chapra dalam bukunya menjelaskan:
Dalam syari’ah, secara teknis, riba mengacu pada premi yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan.

Sejalan dengan hal itu, riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga, sesuai dengan konsensus seluruh fuqaha (para ahli hukum Islam).

Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi lainnya.

Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat undang-undang yang melarang riba. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko.

Menurut Mahmud Yunus, orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan tingkah lakunya dengan orang yang dibinasakan (diharu) setan, karena ia sangat tamak, kejam dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin.

Karena itu menurut Hamka, riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan, dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Islam beserta semua syari’at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi.

Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan bangsa.

Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah harta orang yang melakukan riba.

Dari segi sosial, masyarakt tidak dapat mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama manusia.